/04/

799 59 8
                                    


Hujan tiba-tiba turun, hari sudah semakin gelap, jam sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Serena tidak pernah keluar rumah sampai larut malam seperti ini, walaupun usianya sekarang bukan lagi usia remaja yang takut jika pulang malam. Hanya saja, dirinya tidak terbiasa.

Di tambah ponselnya yang mati karena kehabisan baterai dan juga mobil Sabiru yang entah bagaimana bisa tiba-tiba ban mobilnya pecah di jam begini. Dia menggigit bibirnya, takut. Tidak! Dia tidak takut pada hal lain. Dia hanya takut jika Nadine berpikir yang tidak-tidak terhadap dirinya. Karena posisinya, saat ini masih bersama Sabiru.

"Mas, boleh pinjam ponselnya? Ponsel aku mati. Mau kabarin mama, takut mereka khawatir."

Sabiru memberikan ponselnya kepada Serena. Baru saja Serena menekan nomor ponsel mamanya, ponsel Sabiru juga ikut mati. Tamat! Seandainya tadi kami segera pulang, semuanya tidak akan seperti ini.

"Ponselnya mati, mas."

"Apa?" Sabiru menoleh.

Serena semakin gelisah. Ponsel mereka berdua sama-sama kehabisan daya, ban mobil Sabiru juga pecah. Mereka tidak bisa menghubungi siapa-siapa saat ini.

"Kita tidak mungkin tidur di mobil, Ser."

"Tapi, bagaimana, mas? Ponsel kita mati, kita tidak bisa menghubungi orang kalau begini."

Sabiru memeriksa dimana posisi mereka saat ini, matanya memicing melihat ada tempat penginapan yang tidak jauh dari tempat mereka. "Disana ada penginapan."

Serena langsung mengikuti arah pandang Sabiru, "Kita kesana saja, mas. Sekalian numpang ngecas."

"Kamu tidak apa-apa?"

"Lebih cepat lebih baik. Pasti mama khawatir sampai sekarang aku belum pulang."

"Yasudah, ayo kita kesana."

"Diluar masih hujan..." lirihnya.

Sabiru tidak menghiraukan ucapan Serena, dia turun dari mobil, mengambil jasnya di belakang kursi penumpang, lalu berputar membuka pintu Serena.

Serena tertegun melihat Sabiru berdiri sambil menutup kepalanya dengan jas. "Mas..."

"Ayo cepat! Nanti jasnya basah, kamu ikutan basah." ucap Sabiru sedikit berteriak karena derasnya hujan.

Dengan cepat Serena mendekat ke arah Sabiru, lalu mereka segera berjalan cepat menuju penginapan yang tidak jauh dari tempat mereka. Serena kesusahan menyeimbangi langkah besar Sabiru, itu membuat Sabiru dengan cepat menarik pinggang Serena agar dia tidak terkena hujan.

Dalam hatinya, dia mengucap kata maaf entah sudah sebanyak apa untuk Nadine. Sekali lagi dia katakan. Ini bukan kemauannya, yang dia mau adalah pulang cepat saat ini.

Namun, nasib baik tidak berpihak pada mereka. Ketika Sabiru bertanya kepada petugas penginapan apakah mereka memiliki charger atau tidak. Mereka sama sekali tidak memilikinya. Dan lebih parahnya lagi, disini. Hanya tersisa satu kamar.

Serena menyisir rambutnya ke belakang, ini salah! Batinnya... Mereka tidak mungkin tidur di satu kamar yang sama. Lebih lagi dirinya tidak enak jika Nadine tahu akan ini.

"Kita tidak punya pilihan."

"Tapi, mas. Kita?"

Sabiru reflek memegang kedua bahu Serena, "Dengar aku. Hanya semalam. Ponsel kita mati, Ser. Kita tidak bisa menghubungi siapa-siapa saat ini."

"Tapi, Nadine-"

"Aku yang akan jelasin ke dia yang sebenarnya. Oke? Kamu tenang..."

Serena mengangguk, walau hatinya tidak setuju.

Mereka berjalan menuju kamar mereka, Serena menunduk. Dirinya baru sadar jika dari tadi Sabiru masih menggenggam tangannya.

"Ini kamar kita," Serena mengangkat kepalanya, melihat nomor kamar di hadapannya. Sabiru langsung membukanya dan membawa Serena masuk kedalam.

Sial! umpat Sabiru dalam hati. Kamar ini hanya memiliki satu kasur berukuran kecil. Tidak ada sofa didalamnya.

"Mas..." panggil Serena.

"Aku akan tidur di lantai."

Serena menatap Sabiru. "Lantainya tidak ada alas. Bantalnya cuma dua."

"Kamu tidak keberatan tidur tanpa selimut kan?"

Serena mengangguk, "Aku bisa tidur pakai selimut untuk alas di bawah."

"Dengan keadaan mas yang basah kuyup?"

Sabiru menunduk melihat dirinya. Dia baru sadar jika dirinya basah. Sangat basah.

"Mas saja yang tidur di kasur. Aku di bawah,"

"Tidak! Kamu bisa sakit, Serena."

"Aku tidak bisa membiarkan mas tidur di bawah dalam keadaan basah kayak gini."

Sabiru berusaha menenangkan dirinya, dia memegang kedua bahu Serena agar wanita ini tenang. "Aku di bawah. Kamu diatas. Tidak ada penolakan lagi."

Serena mengangguk. "Aku akan bertanya apakah ada pengering baju disini." ucapnya langsung segera keluar untuk bertanya kepada petugas disini.

Setelah berhasil mendapatkan apa yang dia cari. Serena langsung menuju kembali ke kamarnya.

"Mas..." panggilnya.

Saat pintu terbuka, ternyata Sabiru masih menggunakan baju basahnya. Dengan cepat Serena memberikan alat pengering itu kepada Sabiru.

"Hairdryer?"

"Hanya itu yang ada. Buruan sana keringin bajunya." perintahnya yang kemudian di turuti Sabiru.

Sambil menunggu Sabiru, Serena duduk di tepi kasur. Dia sedang berpikir bagaimana dirinya bisa menjelaskan ini semua kepada Nadine, kepada orang tuanya. Pasti saat ini mereka sedang menunggu dirinya yang tak kunjung pulang.

"Nadine, i am so sorry..." lirihnya.

Otaknya saat ini tidak bisa lagi berpikir jernih. Berdua bersama Sabiru di satu ruangan. Oh! Usia mereka bukan lagi muda. Bahkan anak-anak saja bisa mengerti jika posisi saat ini sangat begitu ankward.

Semoga Nadine tidak bertanya padanya, semoga mamanya tidak menghubungi Nadine jika dirinya belum pulang. Semoga. Iya. Hanya semoga yang bisa dirinya ucapkan saat ini.

*******

Huaaa... Aku jadi ikutan takut nulisnya... Kalau kalian di posisi Serena, apa yang kalian rasakan? 🤪

Had No Choice (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang