/22/

510 29 5
                                    


Sabiru tak berani melanjutkan lebih dalam lagi. Jadi, dengan lembut dia merasai bibir Serena yang menerimanya. Ada perasaan yang aneh di pikirannya. Dia masih belum mau menyudahi ini. Tapi, itu tidak mungkin. Pelan, dia menyudahinya. Keduanya masih terdiam, mengambil nafas sambil masih saling tatap. Serena menelan ludah. Dia masih syok. Entah apa yang dia rasakan saat ini. Seperti darahnya berdesir sangat deras, mengalir di dalam tubuhnya. Kupu-kupu seakan berterbangan di atas kepala.

"Serena-" kata Sabiru. "Maaf, aku..."

"Accidentally?" tanya Serena.

"No!" Sabiru berdehem.

"Aku akan melupakannya kalo mas mau." kata Serena.

"Jangan!" yang benar saja. "Tidak ada yang perlu dilupakan." katanya

"This is my first."  kata Serena lalu menunduk.

"I am so sorry about stole you first kiss."

Serena menggeleng. Aku suka. "Mas lapar?" tanya Serena mengalihkan pembicaraan. Sungguh, posisi mereka saat ini sangat canggung. Kalau terus membahasnya mereka tidak akan pernah selesai.

Sabiru berdehem.

"Aku hanya punya stok mi instan disini." katanya. "Mas boleh kan makan spaghetti?" tanyanya. Sabiru tidak bisa makan mi instan. Dan mengingat jika kemarin Gina Baru saja membeli spaghetti

Sabiru mengangguk. Tanpa mengatakan apa-apa dirinya ikut mengekor di belakang Serena menuju kitchen set yang tersedia di dalam butik.

Serena menarik lengan bajunya sampai ke atas siku. Mencuci tangannya terlebih dahulu sebelum mengambil panci serta satu kotak spaghetti yang masih utuh di dalam lemari.

"Kamu bisa buat carbonara?" tanya Sabiru.

Serena mengangguk. "Mas mau itu? Akan aku buatkan." katanya sambil berjalan menuju kulkas untuk mengambil keju dan susu yang selalu dia siapkan di butik.

"Susunya yang banyak, ya..." kata Sabiru.

Serena menoleh. Menatap tidak percaya pada Sabiru. Bukankah akan terasa enek kalau memasukkan susu terlalu banyak? Serena geleng-geleng kepala.

"Aku tidak punya sosis, telur dan juga daging. Jadi, rasanya akan biasa aja dan juga enek." kata Serena mengingat setiap kali dirinya membeli telur pasti selalu di habiskan Alvina. Laki-laki setengah wanita itu sangat menyukai telur. Dia tidak bisa makan tanpa adanya telur. Dia juga tidak suka sosis jadi tidak pernah membeli untuk stok di butik.

Sabiru tertawa. "No problem. Buat pakai bahan yang ada aja. Aku akan memakannya." dia memperhatikan gerak-gerik Serena. Wanita itu sudah mengikat rambutnya asal tapi tetap terlihat cantik. Sabiru baru menyadari jika Serena memiliki leher yang bagus dan rahang tegas. Sabiru menelan ludah lalu menggeleng pelan mengusir pikirannya.

"Sini aku bantu parut kejunya." katanya mengambil alih membantu Serena.

"Apa bedanya spaghetti dengan mi instan?" tanyanya tiba-tiba.

"Hm? Bedanya? Mi instan tidak sehat kalo spaghetti masih di katakan makanan yang lumayan sehat."

Serena mengerutkan dahinya. "Teori dari mana itu? Keduanya masih tetap di rebus. Ya... Walaupun bedanya spaghetti bisa dibuat memakai bahan apapun. Mi instan juga sama sih sebenarnya. Tapi keduanya tetap tidak boleh di makan setiap hari..." katanya meralat ucapan Sabiru.

"Terus... Kenapa tidak masak mi instan aja?"

"Aku tidak mau mengambil resiko kalo mas sakit lagi. Sudah cukup dua kali mas sakit karena hujan dan karena aku." ya. Lebih baik dia mengambil jalan aman saja.

Sabiru diam. Dia tidak bisa membantu apa-apa karena Serena kelihatannya lebih suka bekerja sendiri dari pada meminta tolong padanya. Dia memilih memperhatikan Serena. Berdiri di samping Serena tanpa membuat wanita itu merasa terganggu.

Dia tersenyum. Memikirkan kejadian tadi. Dia tidak bisa berbohong kalau Serena benar-benar sangat cantik walaupun tidak memakai riasan yang berlebihan.

Kenapa Nadine tidak bisa seperti ini? pikirnya tiba-tiba. Bukan mau membedakan antara Nadine dan Serena. Tapi, dia melihat untuk beberapa kali dirinya bertemu Serena, ada yang aneh pada dirinya. Ada rasa nyaman pada diri Serena yang dia sendiri tidak tahu apa itu. Kenyataanya dia senang berbicara dengannya, bergurau dan mendengar ketawanya. Serena bisa mencairkan suasana dengan berbagai macam bahasan.

Berbeda dengan Nadine yang selalu membahas pekerjaannya, dan lebih banyak diam kalau Sabiru mulai menceritakan sesuatu.

"Mas, ayo makan!" seru Serena menyadarkan Sabiru dari lamunannya. Dia sedang banyak pikiran. Tapi tidak bermaksud untuk menjadikan Serena sebagai pelampiasan.

Mereka duduk saling berhadapan di pantry. Merasakan masakan Serena yang terbilang biasa saja namun begitu enak saat di rasa di mulut. Mereka menghabiskannya sambil berbincang dan saling tertawa satu sama lain. Mereka dua orang yang hebat karena bisa secepat itu melupakan kejadian tadi tanpa ada rasa canggung sedikitpun diantara mereka.

******
Bagaimana ni? Kalian berharapnya gimana?
Sabiru X Serena?
Sabiru X Nadine?

Aku bakalan up scane Sabiru dengan Nadine di part selanjutnya. Besok ya. Sampai jumpa besok.

Had No Choice (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang