Malam hari terasa seperti menakutkan bagi Nadine. Hari ini, orang tuanya pergi ke luar kota, tempat neneknya untuk menjenguk dan sekadar berlibur. Nadine ditinggal karena urusan di kantornya belum selesai.Nadine sangat penakut. Apalagi kalau dirumahnya tidak ada orang. Nuansa yang dia rasakan juga berbeda jika sendirian.
Telinganya berdengung. Ingin menyalakan tv tapi sangat malas untuk turun ke bawah. Perutnya berbunyi. Dia kelaparan. Beginilah susahnya jika dirinya tidak bisa memasak apapun sama sekali.
Nadine membuka aplikasi go-food untuk memesan beberapa makanan. Tapi, tiba-tiba lampu mati dan dirinya dengan sigap dan cepat langsung berlari menuju lantai satu dan membuka pintu rumahnya. Dia menelpon Sabiru. Hanya Sabiru yang ada di pikirannya. Setidaknya dirinya sudah berada di luar rumah dan tidak harus ketakutan lagi. Tapi, tidak mungkin kan dia terus berada di luar? Bagaimana jika lampunya tidak kunjung menyala sampai pagi? Tidak. Nadine tidak bisa.
Dia menelpon Sabiru. Di tiga kali deringan. Laki-laki itu menjawab. Nadine berbicara dengan nada paniknya, begitupun Sabiru yang mendengar itu langsung ikutan panik dan segera mengiyakan permintaan Nadine untuk menemaninya di rumah.
Nadine menunggu. Dia kedinginan duduk sendiri di depan teras. Pak satpam yang biasa menjaga rumahnya tadi siang tiba-tiba harus ijin karena istrinya melahirkan. Nadine menarik nafas. Percuma memiliki rumah besar tapi orang di dalamnya selalu berpergian.
Papa Nadine adalah pembisnis. Dia sering keluar kota bahkan negeri hanya untuk mengembangkan bisnisnya. Begitupun mamanya yang selalu ikut bersama papanya. Mamanya kurang betah di rumah. Dengan papanya yang sering berpergian. Begitu juga kesempatan yang di ambil mamanya untuk bersenang-senang di sela-sela ikut menemani papanya.
Jadi, tahu kan dari mana sifat Nadine berasal? Sifat kerja keras dan tidak akan pernah merasa puas sebelum apa yang dia inginkan tercapai. Itu sudah menjadi prinsip keluarganya. Nadine cuma satu-satunya putri yang mereka miliki. Jadi, Nadine tidak punya panutan selain papa dan mamanya.
Mamanya sering berkata. "Tugas istri itu menghormati suami. Begitupun suami. Harus menghormati istri. Jadi, kalau suami sibuk. Minimal istri juga harus di buat senang. Kayak mama, walaupun tidak bekerja. Papamu yang menghasilkan uang dan sibuk kesana kemari. Mama akan setia ikut dengannya. Minimal... Berlibur."
Beda dengan perkataan papanya. "Kalo kerja jangan setengah-setengah. Nanti hasilnya juga setengah. Dan kamu tidak akan bisa menikmati hidup. Kejar selagi kamu bisa mengejar. Manusia memang tidak akan pernah merasa puas. Minimal, penuhi dan bahagiakan diri kamu dulu. Baru memikirkan orang lain."
Itulah sebabnya. Nadine memilih untuk memenuhi apa yang dia inginkan dulu. Membuat dirinya bahagia dengan hasil kerja kerasnya. Baru, setelah puas menjamah semua yang dia dapatkan. Dia akan membahagiakan orang lain. Contoh. Menikah.
Setengah jam Nadine menunggu kedatangan Sabiru. Tidak biasanya Sabiru lama menuju rumahnya. Nadine selalu menghitung jarak rumah Sabiru dengan rumahnya. Hanya dua puluh menit saja. Tapi, ini sudah lebih dari setengah jam. Nadine tidak terlihat curiga. Dia hanya berpikir mungkin Sabiru sedang mandi atau menghabiskan makanannya sebelum ke rumahnya. Mungkin.
Tak lama. Mobil Sabiru datang memasuki halaman rumahnya. Laki-laki itu keluar dari mobil dengan raut wajah yang tidak bisa di baca oleh Nadine. Sedih, kesal, panik, dan rasa bersalah. Sangat beragam.
"Apa terjadi sesuatu? Sudah berapa lama lampu mati?" tanya Sabiru. Dia masih berdiri menatap Nadine yang masih bingung dengan raut wajah Sabiru.
Nadine berdehem. "Kamu sudah makan?" tanyanya.
"Sudah." jawabnya datar.
"Aku belum." Nadine mendesah. "Baru saja tadi mau pesan makanan tapi lampu langsung mati."
"Kenapa tidak bilang?" Sabiru berdecak.
Nadine yang mendengar decakan Sabiru, merasa aneh. Biasanya tanpa di tanya atau disuruh kuah Sabiru pasti akan membawakannya makanan. Dia tahu kekasihnya itu tidak bisa apa-apa untuk soal perutnya.
Sabiru menyadari tatapan Nadine. Dia diam lalu berdehem. "Sorry. Aku hanya... Sedikit sibuk." Sabiru berkata jujur. Akhir-akhir ini dia memang cukup sibuk dengan urusannya di kantor. Ada beberapa yang pekerjaan dan kasus yang harus dia selesaikan.
Tapi sifatnya hari ini. Justru berbeda. Dan itu hanya Nadine yang bisa membacanya. Sabiru yang biasa bersikap manis, hari ini beda. Dan... Nadine baru menyadari jika Sabiru terlihat rapi malam ini.
"Kamu dari luar?" tanyanya membuat Sabiru menunduk.
"Habis menemui klien." jawabannya langsung di beri anggukan kecil dari Nadine.
"Masuk aja ya," kata Sabiru. "Diluar dingin. Banyak nyamuk..." ucapnya.
"Tapi..." Nadine masih takut untuk masuk ke dalam. Suasananya sangat gelap.
"Kan ada aku..." kata Sabiru meyakinkan Nadine agar tidak takut lagi.
Nadine akhirnya mengangguk. Dia menerima uluran tangan Sabiru. Berdiri lalu masuk bersama kekasihnya ke dalam rumah.
Sabiru menuntun Nadine menuju sofa. Menyuruhnya duduk dan dirinya hendak menuju dapur tapi, tangannya langsung di tahan oleh Nadine.
"Mau kemana?" tanya Nadine. Raut wajahnya cemas dan suaranya bergetar.
"Aku hanya mau membuatkanmu makanan. Tunggu disini..."
"Aku ikut!" dia berdiri memeluk lengan Sabiru.
Sabiru tertawa. Sifat Nadine tergolong tidak bisa di tebak. Kadang wanita ini bersikap cuek dan merasa tidak peduli. Kadang juga bisa bersikap seperti anak kecil kalau sedang ketakutan. Sabiru hafal itu.
Sampai di dapur. Sabiru menyalakan senter dari ponselnya dan juga menyetel musik kesukaan Nadine, agar Nadine tidak ketakutan dan bisa sedikit tenang.
Sabiru masak dengan tenang. Hanya mi instan, karena kulkas Nadine tidak memiliki isi apapun selain jus, susu dan buah-buahan. Tidak ada bahan masakan.
Hampir tiga tahun mereka pacaran. Sudah tahu sifat satu sama lain. Sabiru yang selalu terbuka apapun pada Nadine. Tentang apa saja kegiatannya di kantor, tentang segala resahnya. Dia laporkan ke Nadine. Walaupun Nadine tidak pernah menanggapinya.
Sabiru sangat sabar. Dia yang paling sabar menanggapi sikap Nadine yang tergolong cuek dan tidak pernah memperlakukan dirinya layak sebagai seorang kekasih. Itu membuat Sabiru sedikit merasa tidak di hargai.
Setiap kali dirinya ingin berkata serius. Nadine selalu menyela. Apapun itu. Nadine sudah memberi peringatan kepadanya. Tidak ada pernikahan. Aku belum siap. Jangan menikahiku dulu. Itu yang selalu Sabiru ingat.
Sedang, dirinya sudah sangat ingin menikah. Apa lagi yang dia cari di umur 33 tahunnya ini? Hanya seorang istri yang dia cari. Tapi, Nadine tidak menerimanya.
******
Loh. Loh. Jadi kapan siapnya atuh neng Nadine? Keburu di Pepet orang tuh. Hihihi.Next ya. Vote dan coment ass always *kedip mata sebelah. 😘

KAMU SEDANG MEMBACA
Had No Choice (Completed)
RomancePercaya tidak? Jika cinta datang karena terbiasa bertemu? ***Tokoh, tempat, nama, latar belakang. Semuanya hanya fiksi. Tidak nyata. Jika mendapati ada kesamaan. Itu hanya ketidak sengajaan yang dibuat oleh penulis***