Everyone, aku mau berterima kasih untuk kalian yang sudah berbaik hati membaca, memberikan vote dan juga turut meramaikan tiap part. Aku baca semua komenan kalian, dan aku juga tidak bisa menahan tangan aku buat balas kalian satu persatu. Aku tau cerita aku masih banyak kekurangannya, aku baru belajar dan ya... Ini cerita pertama aku yang hampir habis. Tinggal beberapa part lagi menuju ending. Makasih ya buat semua. Semoga kalian tetap jadi pembaca yang enjoy sampai ceritaku tamat ❤️
****
"Nadine..." seru Serena saat melihat Nadine membuka matanya dan menatapnya.
"Nad..."
Nadine berdehem, setelah kejadian kemarin tiba-tiba dia merasa canggung.
"Ngapain kamu disini?" tanya Nadine, mengalihkan pandangan.
"Nunik bilang kamu ngurung diri di kamar, dari malam. Makanya aku kesini."
"Apa peduli kamu? Aku mau mati atau nggak keluar kamar juga bukan urusan kamu." Nadine menelan ludah.
"Kamu demam,"
"Terus? Bukannya bagus kalo aku mending mati aja?"
Serena mengerjapkan matanya. "Jangan bicara sembarangan, Nad."
Nadine menoleh, "Kenapa? Setelah semua yang aku lihat, setelah semua yang kalian lakukan? Apa kamu pikir aku baik-baik saja?"
Serena membuang muka, menarik nafas, membasahi bibirnya. "Kamu pikir aku baik-baik saja?" kata Serena. Lalu menggeleng, "Tidak, Nad... Aku tidak baik-baik saja! Aku... Sama hancurnya seperti kamu."
"Alah!" Nadine mengibaskan tangannya. "Buang omong kosong kamu! Jelas-jelas kamu bahagia, jelas-jelas kamu ketawa sama dia." kata Nadine, tak berhenti menyalahkan Serena.
Serena menghela nafas lalu beralih mengambil piring di atas nakas, "Kamu makan dulu ya. Isi perut kamu dulu." katanya seraya mengaduk-aduk bubur.
"Nggak usah sok peduli."
"Mumpung buburnya masih hangat, makan ya. Buka mulut kamu, aku suapin." kata Serena, pelan-pelan dia menyodorkan sendok ke mulut Nadine. Namun Nadine menepis dan membuat sendok di tangannya jatuh ke lantai.
"Aku bilang aku nggak mau makan! Aku nggak mau lihat muka kamu! Dan pergi dari sini!" bentak Nadine membuat Serena memejamkan mata.
"Kita bisa bicarain ini baik-baik, Nad. Emosi tidak akan menyelesaikan masalah."
Nadine mendesah lalu menatap tajam. "Kamu nyadar nggak aku emosi karena apa dan karena siapa?! Munafik tau nggak!" seru Nadine.
"Ya! Aku salah. Sangat salah! Dan aku sadar, aku minta maaf."
"Segampang itu?" sela Nadine. "Segampang itu kalian minta maaf setelah apa yang kalian lakukan di belakang aku?! Hah! Nggak, Ser. Nggak!" dia menggeleng.
Air mata Serena tumpah, bentakan Nadine cukup membuatnya gemetar, membuat lututnya lemas dan memilih untuk menjatuhkan dirinya di lantai. "Aku mau jujur dari awal, tapi aku takut kalo aku jujur. Semua tidak akan baik-baik saja, dan aku memilih untuk memendam, mengikuti suruhan kamu. Padahal hati sama diri aku menolak, tapi aku tidak bisa menolak kamu, Nad... Aku tidak bisa." Serena mulai terisak. "Kamu tidak mikir gimana posisi aku, gimana aku takut. Takut semuanya akan jadi seperti ini."
"Aku berpikir ini akan berlangsung satu atau dua kali. Tapi ternyata tidak, Nad. Gara-gara ide kamu, membuat aku sama mas Sabiru semakin dekat, awalnya kami sering ketemu untuk mencari ide gimana cara melamar kamu biar kamu terima dia." Nadine mulai menoleh, "Dengan seringnya ketemu, kami jadi dekat tanpa pernah bisa kami tebak kapan kami mulai sedekat itu."
"Hentikan!"
Serena menggeleng, "Aku tidak mau diam lagi. Terus memendam dan bohong sama kamu. Biar semuanya jelas dan tidak ada salah paham lagi."
"Aku bilang hentikan!" bentak Nadine.
Namun Serena tak bergeming, untuk hari ini dia memilih untuk egois hanya untuk membuat semuanya selesai dan jelas jika tidak ada apa-apa di antara dirinya dengan Sabiru.
"Aku pernah bilang sama kamu, kan? Kalo mas Sabiru orang yang baik. Dia bahkan tetap mikirin kamu walaupun kamu tidak peduli. Kamu mementingkan pekerjaan kamu, mengorbankan aku, dan menyakiti mas Sabiru. Apa kamu pernah mikir sampai kesitu?" Serena bertanya, "Aku tidak menyalahkan kamu sepenuhnya, aku salah, mas Sabiru juga salah. Kita sama-sama salah. Kita hanya orang dewasa yang terperangkap oleh ego kita masing-masing."
"Terus apa maksud dari pelukan dan ciuman di bandara."
Serena berpikir sebentar, dia juga tidak tahu kenapa Sabiru melakukannya saat itu di depan orang tuanya. "Yang jelas kami tidak memiliki perasaan satu sama lain." jelas Serena bohong.
"Kalian---"
"Terserah kalo kamu mau percaya atau tidak, aku sudah menjelaskan semua." Serena berdiri, membuka tas dan mengeluarkan hadiah yang dia beli kemarin untuk Nadine. "Asal kamu tau, kemarin aku mencari hadiah buat kamu di mall, sendirian. Kita hanya tidak sengaja bertemu dan kebetulan dia sendiri dan kita mengobrol." katanya seraya meletakkan hadiah itu di atas meja.
"Maaf... Kesannya aku udah buat hari bahagia kamu hancur. Kalo kamu mau tau apa yang kita obrolin kemarin. Itu hanya mas Sabiru yang berhak kasih tau sama kamu." dia menoleh pada Tristan yang masih menutup mata, lebih tepatnya pura-pura menutup mata.
"Ini pelajaran untuk kamu ke depannya jangan salah dalam mengambil keputusan. Pikirkan dulu resiko akhirnya, jangan pernah mengorbankan seseorang hanya untuk kepentingan kamu. Kamu berhak bahagia, Nad. Aku selalu mendoakan hubungan kalian, asal kamu tau." setelah mengatakan itu Serena mendekati Tristan dan menarik tangannya. Otomatis Tristan membuka mata dan berdiri.
"Aku pulang dulu, habiskan bubur kamu, dan..." Serena menarik nafas. "Selamat ulang tahun. Semoga kamu suka sama kadonya." katanya, Serena tak mampu lagi menahan getaran bibirnya, tak bisa menahan isakkannya lagi dan memilih keluar dari kamar serta rumah Nadine.
Sedangkan Tristan, dia masih berdiri menatap Nadine dengan raut muka datar. "Aku bukan mau ikut campur. Tapi apa yang di katakan Serena itu benar. Serena tidak sepenuhnya salah, kalian bersahabat, pastinya lebih memahami, bukan?" setelah mengatakan itu Tristan melangkah menuju pintu kamar lalu berbalik lagi pada Nadine. "Oh iya! Aku Tristan. Calon suami Serena, kalo kamu mau tau." katanya sambil tersenyum lalu keluar menyusul Serena.
Nadine menatap nanar ke arah pintu. Serena benar-benar pergi. Seharusnya dia tidak bersikap dingin terhadap Serena. Seharusnya mereka bisa baikan jika egonya tidak lebih besar dari pada keinginannya memeluk Serena tadi.
Serena benar. Mereka sama-sama salah. Dan dirinya yang memulai semua ini. Mengorbankan sahabatnya demi kepentingan pribadi, menyakiti kekasihnya dan mengorbankan hubungannya sendiri.
Karma doesn't exist. Tuhan itu adil. Dan pada akhirnya mereka sama-sama terluka.
Entah bagaimana selanjutnya. Apakah Nadine mempertahankan sahabatnya dan memilih memutuskan Sabiru. Ataukah... Memilih mempertahankan semuanya?
****
Semua akan terjawab di part selanjutnya. Tetap enjoy.

KAMU SEDANG MEMBACA
Had No Choice (Completed)
RomancePercaya tidak? Jika cinta datang karena terbiasa bertemu? ***Tokoh, tempat, nama, latar belakang. Semuanya hanya fiksi. Tidak nyata. Jika mendapati ada kesamaan. Itu hanya ketidak sengajaan yang dibuat oleh penulis***