/05/

764 59 6
                                    


Ketakutan Serena bertambah berkali lipat saat tengah malam dirinya terbangun, melihat Sabiru menggigil di bawah seraya memeluk dirinya sendiri.

Serena panik, dia segera turun untuk memeriksa suhu tubuh Sabiru. "Astaga, mas Sabiru panas sekali..." lirihnya.

Diapun langsung masuk ke kamar mandi, mengambil handuk kecil dan menyetel keran air menjadi air panas. Dia akan mengompres Sabiru. Berharap panas kekasih sahabatnya itu turun.

"Engh..." Sabiru melenguh saat merasakan sesuatu menyentuh dahinya.

"Maaf, mas. Aku hanya ingin mengompres."

"Serena..."

"Iya, mas. Aku disini."

"Serena, maafin aku..."

"Ssstt... Mas tidur saja ya, biar aku yang jagain. Badan mas demam." ujar Serena.

Dia masih terus mengompres Sabiru. Sampai jam sudah hampir menunjukkan pukul subuh. Dia kembali mengeceknya, panas Sabiru tak kunjung menurun. Membuatnya semakin panik.

"Mas, maafin aku ya... Gara-gara aku, mas jadi demam." ujarnya sedikit pelan agar tidak membangunkan Sabiru.

Tiba-tiba Sabiru bangun. Dia memegang tangan Serena, membuat sang empunya kaget.

"Ini sudah jam berapa?" tanyanya.

"Sudah subuh, mas."

"Sudah adzan?"

"Belum. Masih dua puluh menit lagi."

Sabiru diam, Serena juga ikut diam. Mereka saling diam tidak tahu apa yang harus mereka katakan.

"Aku tidak bisa terkena hujan."

Serena menoleh, "Seharusnya, mas bilang. Kalau begitu kita bisa tidur di mobil saja."

Sabiru tertawa. "Kamu takut?"

Serena mengangguk.

"Jangan beritahu Nadine kalau aku tidak bisa terkena hujan."

Serena mengerutkan dahinya, "Kenapa?"

"Tidak banyak yang dia tahu tentang aku. Salah satunya ini,"

"Lalu, kenapa mas kasih tau aku?"

Sabiru menatapnya, "Tidak tau. Yang jelas kamu bersamaku sekarang."

Serena membalas tatapan Sabiru. Laki-laki itu memiliki tatapan mata yang tajam. Tapi, tetap terlihat teduh. Dirinya juga tidak paham dengan maksud Sabiru barusan. Apa hubungannya dengan dirinya? Kenapa harus dirinya yang tahu tentang Sabiru, bukan Nadine.

Namun, Serena tidak bisa terus-terusan begini. Ini salah. Dia dan Sabiru hanya sebatas teman yang tidak sengaja bertemu karena ide yang di berikan Nadine. Dia harus sadar diri,

"Mas harus sehat dong, kan besok mau melamar Nadine." ujarnya dengan sedikit bercanda.

Sabiru tertawa mendengarnya, "Apakah Nadine mau menerima kekurangan aku?"

"Kalian sudah berhubungan selama hampir tiga tahun. Aku rasa itu sudah cukup untuk menjawabnya."

"Tapi, selama aku pacaran dengannya. Aku belum pernah menunjukkan kekuranganku."

Serena menghela nafasnya, "Apa yang mas pikirkan? Mas itu sempurna. Sangat! Aku rasa walaupun ada kekurangan, pasti Nadine bisa menerima itu. Dia wanita baik selama yang aku kenal."

Sabiru tersenyum, "I hope so," dia kembali menatap Serena, "Kamu, bagaimana? Apakah sudah memiliki kekasih?"

Serena tersenyum sambil menggigit bibirnya, "Kalau ada aku tidak akan menyetujui ide aneh Nadine hari ini."

"Oh ya? I can't believe that."

Serena mengangkat kedua bahunya, "Sudah adzan. Mas mau sholat?"

Sabiru mengangguk, dia mencoba untuk duduk. "Kamu tidak sholat?"

"Aku absen. Disini tidak ada mukena."

"Aku wudhu bentar ya."

Serena mengangguk, "Wudhunya pakai air hangat ya, mas. Sudah aku siapkan tadi."

Sabiru menghentikan langkahnya lalu menoleh pada Serena, "Sejak kapan?"

"Tadi, pas mengompres. Aku lupa matikan pengaturannya."

"Makasih ya." Serena mengangguk.

Dia menghela nafasnya. Lalu, dia berdiri merapikan tempat tidur dan juga melipat selimut menjadi kecil agar bisa digunakan untuk sholat.

Nadine mendapatkan laki-laki yang memiliki iman yang bagus. Cara bicaranya lembut, dan Sabiru juga bisa menahan dirinya yang merupakan laki-laki normal saat berada di satu kamar bersamanya. Dan... Rajin sholat. Itu point yang sangat sempurna.

Beruntung kamu, Nad.

*******

Sabiru idaman ya?
Serena juga idaman ya?
Hahaha... Sampai ketemu di next part teman-teman...

Had No Choice (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang