Kota di mana Semuanya Berawal

438 54 2
                                    

Dinding Maria, luasnya wilayahnya sepertiga lebih besar dari keseluruhan umat manusia yang tersisa. Tetapi, lima tahun yang lalu. Umat manusia kehilangan wilayah terbesar ini dan terpaksa harus mengungsi ke dalam dua dinding yang tersisa.

Tak ada yang mau melawan, karena tak ada seorang pun yang pernah mendengar cerita tentang umat manusia yang mampu mengalahkan Titan.

Namun, sesosok anak laki-laki yang memiliki pisau tajam yang tertanam dalam hatinya, berhasil membunuh Raksasa dan menginjak kepalanya.

Setelah melihat peristiwa tersebut, apakah yang terlintas dalam pikiran umat manusia?

Ada yang merasa bangga. Ada yang merasakan harapan. Ada yang meneriakkan kemarahan. Kalau begitu, jika Dinding Maria berhasil direbut, apa yang akan diteriakkan umat manusia?

"Kita masih bisa bertahan hidup."

Apakah mereka akan mempercayai hal itu? Apakah hal tersebut bisa mereka yakini, jika saja Dinding Maria direbut kembali...

_______________

.

.

.

.

Warna hitam batu wulung pun telah tiba menyelebungi sang ibu pertiwi. Para prajurit yang diagumkan sampai sekarang masih berjalan kaki, menerobos malam hari yang kelam.

"Masih belum sampai kaki gunung juga, ya? Sebentar lagi fajar akan datang." Ungkap Levi pada prajurit disebelahnya. Pria yang lebih tinggi darinya tersebut menatap teliti peta yang ia genggam. "Begitu kita melewati jalan ini, Distrik Shiganshina sudah ada di depan mata." Ujarnya, mengamati hutan rindang, dibantu dengan alat penerangan baru yang dimiliki pasukan militer.

Senter baru yang dirancang ini menggunakan bongakahan-bongkahan batu kristal bercahaya yang berada di gua bawah tanah milik Rod Reiss. Hal ini sangat memudahkan perjalanan di malam hari.

Disisi lain, sang wanita yang biasanya memiliki wajah datar dan tidak terlalu berekspresif, pada malam yang penting ini. Muka-nya sedikit berkeringat, seperti sesuatu sedang dikhawatirkannya. Erwin memperhatikannya dengan khawatir, ia perlahan mengulurkan tangannya dan menyentuh tangan si Rambut Aneh, mengagetkannya.

"Ada apa? Semuanya baik-baik saja? Kamu seperti punya banyak pikiran." Perempuan itu terdiam terhadap pertanyaan sang pria, kedua mata obsidiannya membelalak sedikit karena terkejut. "Tidak, aku tidak apa-apa..." Jawabnya segera, menarik ujung tudung jubahnya ke depan seraya menguatkan pegangannya terhadap tali pelana kuda hitamnya, Schwarz.

Komandan Pasukan Pengintai yang sudah sering melihat kelakuan itu, tahu bahwa wanita disampingnya itu sedang menyembunyikan sesuatu. Ia pun kembali menolehkan pandangannya ke depan sambil membuat ekspresi kecewa.

"Aaah~~ Seseorang tidak mau mengatakan apa yang sedang menggangu mereka, itu membuatku sedih." Ucap si rambut pirang klimis itu dengan lirih. "Apaan sih?" Sela Rika, meliriknya sinis dari ujung ekor mata orientalnya.

"Ayolah, Rika. Aku sudah mengenalmu lama, aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu. Ketika kamu mengatakan kalimat aku tidak apa-apa, pasti ada sesuatu yang kamu sembunyikan." Titah pria itu memaksa. "Sudah ku bilang, aku tidak ada apa-apa. Kamu nya saja yang terlalu berlebihan menganalisa." Pria berambut klimis terang itu berdeham curiga dengan tanggapan lawan bicaranya.

Waktu pun berlalu, hari lama-lama semakin terang. Pada detik-detik terakhir, perempuan berambut panjang itu akhirnya berhenti dan berdesah, "Ugh.. Baiklah, akan ku katakan."

MY LAST WAR [SHINGEKI NO KYOJIN X OC]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang