Interrogation

3.4K 389 252
                                    

Note: Yeeyyyy🥳 banyak banget yang ngerespon huehuehue. Makasih banyak lohh, gitu" berarti lohh buat aku aowkaowkaowk. Itu aku akan pilih dari voting terbanyak yuakkk! Lop u!
















Setelah hampir satu jam lamanya, Jennie akhirnya berhenti menangis meski masih terisak sesekali. Aku masih setia memeluknya yang masih saja duduk di atas pangkuanku sejak tadi, mengabaikan kakiku yang sudah merasa kesemutan. Hingga beberapa waktu kemudian Jennie menegakkan tubuhnya dan menggosok mata dengan tangannya sambil cemberut. Karena tidak tahan melihat tingkah menggemaskannya, aku mencium Jennie sekilas tepat di bibir.

"Kau benar-benar tidak memiliki hubungan apapun dengannya?" Kata Jennie dengan suara aegyo-nya.

Aku mengangguk mantap. "Hm! Sama sekali tidak ada hubungan apapun."

"Tapi kau pergi bersama dengannya."

"Iya, tapi aku ditemani Lisa juga kok. Suzy sunbae sering berpergian ke Paris dan dia sudah tahu banyak tempat. Lalu dia mengajak kami untuk pergi bersamanya. Tapi sungguh, tidak ada yang terjadi di antara kami."

"Kau tidak bohong?"

"Tidak."

Lalu Jennie menunduk, masih menenangkan dirinya sambil berpikir. Kemudian dia menatapku dan aku menatapnya dengan yakin, memberikan sinyal jika aku tidak berbohong sama sekali.

"Kau bodoh," ucapnya tiba-tiba.

Aku tertawa kecil kemudian beralih untuk mencium pipi mandunya. "Tapi kau mencintai orang bodoh ini, boleh kukatakan kau lebih bodoh dariku?"

Tentu saja aku sengaja melakukannya. Jennie yang sedang merajuk itu memang menyeramkan, namun di sisi lain aku menemukan sisi gemasnya.

"Kau menyebalkan!" Kesalnya.

"Aku juga mencintaimu," jawabku yang memang tidak nyambung. Well, biarkan aku menganggap itu sebagai pernyataan cinta.

Kulihat wajah Jennie sangat merona. Dia belum terbiasa dengan ungkapan cintaku dan tidak boleh terbiasa. Aku tidak ingin dia terbiasa karena itu artinya ungkapan cintaku sudah tidak berpengaruh untuknya dan aku tidak menginginkan itu.

Merasa malu ketika wajahnya berubah menjadi merah, Jennie kembali memelukku dengan erat, menyembunyikan wajahnya tepat di curuk leherku. Aku juga kembali memeluknya, mengelus punggung dan rambutnya dengan lembut. FYI, jantungku tidak pernah tenang saat bersamanya. Jelas, aku mencintainya. Dia takdirku.

"Aku mencintaimu, Rosie," ucapnya dengan pelan.

"Aku sangat mencintaimu, Jennie."

"Ani. Aku lebih mencintaimu."

"No, aku sangat mencintaimu dan lebih mencintaimu dari apapun."

"Tetap saja aku yang lebih mencintaimu!"

"Tidak! Aku yang sangat dan lebih mencintaimu!"

"Terserah! Pokonya aku yang lebih mencintaimu! Itu final!"

Baru saja aku ingin membalasnya ketika tiba-tiba saja seseorang mengetuk pintu ruangan Jennie, membuatku reflek mendorong Jennie dari pangkuanku dan membuatnya terjatuh. Jennie sempat meringis kemudian aku membantunya untuk berdiri dan bersembunyi di balik sofa ruangannya.

Hingga beberapa saat kemudian Jennie membuka pintunya dan mereka sempat berbincang. Aku tidak melihat wajahnya tapi aku tahu itu seorang laki-laki. Ingin sekali rasanya aku menunjukkan diriku dan berkata jika Jennie adalah tunanganku.

OUR LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang