PROLOG

33.6K 1.4K 14
                                    

Jatuh cinta itu simple, kita bertemu, berkenalan, tertarik, follow up, lalu timbulah rasa itu. Tandanya apa? tandanya adalah kamu kangen, berusaha mencari, berusaha bertemu, berusaha cari tahu dan kenal lebih jauh.

Bagaimana memupuk cinta? Nah ini dia yang menjadi tantangannya. Bagaimana memupuk cinta? Aku sendiri juga gak tahu gimana.

Sering ketemu?

Nyatanya, hidup di kota besar seperti Jakarta ini, kata – kata sering ketemu ini amat berharga. Bahkan pertemuan antar orang yang tinggal satu rumah saja, susah sekali. Ayah berangkat kerja pukul 5 pagi, demi menghindari macet, anak belum bangun. Ayah pulang kerja, sampai rumah anak sudah tidur. Hanya bertemu di kala weekend. Belum tuntutan hidup bersosialisasi di Indonesia, yang acara pernikahan relasi/teman/saudara, arisan keluarga, bahkan tak jarang perjalanan dinas yang harus di mulai dari hari minggu sore, demi mengejar meeting di senin pagi.

Kalau kisahnya seperti ini, bagaimana cara memupuk cinta, dengan resep paling mujarabnya yaitu, saling bertemu?

Belum ditambah dengan, jalanan ibu kota yang tidak tanggung – tanggung macetnya. 2 sampai 3 jam stuck di tengah lalu lintas, adalah hal yang lumrah.

Rumah, di kehidupan ibu kota ini, tak lebih dari sebagai tempat istirahat. Padahal definisi rumah itu seharusnya tempat tinggal, tempat dimana didalamnya terhadap penghuni tetap, yang menghidupkan suasana rumah.

Nyatanya? Bagian dari rumah yang sering terpakai hanya, kamar, kamar mandi dan dapur. Dapur pun hanya terpakai mungkin hanya bagian pantry saja, sekedar menyiapkan sarapan.

TV berlayar super besar dengan model terbaru, lengkap dengan saluran TV kabel nya, setiap bulan hanya di bayarkan saja, tanpa pernah terpakai fungsinya. Begitu juga saluran internet, yang biasanya sudah dalam satu paket hemat dengan TV kabelnya. Semua sia – sia.

Kolam renang yang airnya selalu tenang, karena tidak pernah ada yang menggunakan.

Terkadang aku merasa, bahwa penghuni sesungguhnya rumah itu adalah para ART. Mereka yang selalu dirumah, menjelajahi setiap sudut rumah, lebih perduli dengan kondisi rumah.

Jujur, setiap kerusakan, kekurangan yang ada didalam rumah, lebih sering ditemukan oleh ART dari pada pemilik rumah itu sendiri.

'bu keran patah'....'bu isi kulkas habis'.....'bu ini bu itu'

Tugas pemilik? Kasih uang dan minta mereka carikan tukang untuk memperbaikinya.

Jadi buat apa, beli rumah dengan harga Milyaran rupiah? Dapur yang dilengkapi dengan kitchen set mahal, kompor dilengkapi dengan oven canggih, kulkas 4 pintu yang sebesar lemari pakaian, furniture exclusive? Kalau pada akhirnya, sang pemilik bahkan setiap hari, tidak sempat menikmati semua itu.

Pemilik hanya bangga, kalau di tanya 'tinggal dimana?' dan akan menjawab suatu kawasan atau perumahan yang akan mencengangkan orang lain.

You must be crazily rich.... itu saja yang didapat.

Hidup itu sebenarnya kita yang pilih, apa prioritasnya, kualitas atau kuantitas?

Kualitas, bisa ada waktu bertemu suami/istri/anak, ada waktu saling berbicara, saling bercerita. Satu rumah tapi tidak seperti orang asing. Risikonya, ya mungkin harus rela mengorbankan waktu di kantor, rela meninggalkan bisnis yang memburu. Sebenarnya ini bisa aja sih dibuat balance, meninggalkan pekerjaan kan bukan berarti kita tidak melaksanakan apa yang wajib dikerjakan. Tapi hanya, mengerjakannya dalam porsi wajar. Sayangnya, ga semua pekerjaan itu porsinya wajar.

Kuantitas, memiliki berbagai macam aset, rumah, apartemen, kost – kostan, mobil kelas menengah ke atas, deposito, emas, saham valas dan hal – hal bersifat materi lainnya. Risikonya, kehilangan waktu dirumah bersama keluarga. Sibuk menenggelamkan diri pada target – target bisnis.

Lalu,

Bagaimana dengan kehidupanku?

Bagaimana dengan kehidupan seorang Kanaya Zetira maharani, seorang Regional Sales Manager diperusahaan asuransi jiwa terkemuka dan seorang Barra Ziyaad Rinaldi, seorang Lawyer di sebuah firma hukum terkemuka.

Ya itu lah aku, dan mas Barra, suamiku.

Kami salah satu dari sekian banyak, pasangan suami istri, yang harus menjalankan kehidupan berumah tangga di ibu kota ini.

Kami salah satu, dari sekian banyak pasangan yang, kehilangan kehidupan kami di tengah derasnya arus kehidupan kota besar, yang sangat demanding ini.

Satu Bulan Untuk SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang