Barra,
Hal gila yang kulakukan adalah, menerima perhatian demi perhatian dari Callista dengan tangan terbuka. Bahkan aku sudah berani membalas senyumannya. Aku tidak sampai menyentuhnya, karena selalu terbersit rasa bersalah pada Kanaya, setiap aku menikmati perhatiannya.
Waktu itu kepalaku tiba – tiba terasa pusing, lalu Callista datang membawakanku segelas teh hangat, dan obat pereda pusing. Dia bahkan tanpa sungkan – sungkan lagi memberikan ku pijatan lembut di kepalaku.
"enakan?"
"hhmm... sorry ya ngerepotin" jawabku
"apa sih.. gak suka deh kamu ngomong kayak gitu" balasnya sambil tertawa pelan.
Beberapa menit aku menikmati pijatan lembutnya, dan aku jujur saja merasa enakan.
"udah ta.. cukup.. kamu balik ke ruangan aja gih" aku memintanya untuk kembali ruangannya bersama team ku yang lain. Aku tidak tuli, seringnya Callista keluar masuk ruanganku, sudah menjadi bahan gunjingan di kantor ini, terutama diantara para sekretaris, yang memang sudah bekerja disini lebih lama.
Mereka paham betul, tidak pernah ada pegawai wanita yang keluar masuk ruangan para senior associate seenaknya seperti Callista.
"kalo kerasa gaenak lagi, wa aku ya?" ucapnya lembut, sambil berlalu kearah pintu. Aku pun membalas dengan senyuman.
Aku menyandarkan tubuhku pada sandaran kursi, aku masih tersenyum, dan memutar – mutar kursiku. Sampai pandangan ku bertubrukan pada sebingkai foto, foto pernikahan ku dan Kanaya. Jantungku rasanya berhenti berdetak, melihat senyuman bahagia kami di foto itu. Lalu pandanganku jatuh pada cincin kawinku.
Lazimnya, pengantin wanita akan memilih sendiri design cincin perkawinan mereka. Tapi aku meminta pada Kanaya agar aku yang merancang cincin perkawinan kami. Aku khusus memesan sepasang cincin kawin bertahta kan berlian, jika kedua cincin itu disatukan, maka akan membentuk simbol hati. Dibagian bawah cincin itu bertuliskan NayaforBarra dan BarraforNaya. Sengaja ku buat seperti itu, sebagai pengingat, sekarang kami milik siapa.
Entah sudah berapa lama mataku memandang ukiran nama di cincin itu. Bahkan aku tidak pernah melepaskannya, disaat aku menikmati perhatian dan sentuhan Callista.
Sebuah perbedaan antara Kanaya dan Callista. Kanaya adalah wanita yang cenderung tidak agresif, dulu ketika aku mendekatinya, aku lah yang berupaya mati-matian, tapi dia juga tidak sombong, hanya saja dia termasuk sedikit pemalu.
Callista, dia merupakan angin segar, dia berani, agresif. Tidak segan menunjukan perasaannya. Bahkan dia berani menggenggam tanganku lebih dulu. Memijat bahu dan kepalaku. Dan jujur saja, itu nyaman.
Nyaman? Atau aku hanya sekedar merasa terhibur? Diantara himpitan pekerjaan ini, tiba – tiba aku seperti mendapat sedikit waktu untuk menikmati bersenang – senang.
Kanaya itu sikapnya.. mahal, terhormat. Lalu apakah berarti Callista Murahan? Tapi dia tidak melempar tubuhnya padaku, dia hanya perhatian. Apakah itu termasuk murahan?
Apapun lah itu, bagaimanapun aku membandingkan Kanaya dan Callista. Tetap saja, yang satu istriku yang satu....
Simpananku...
Selingkuhanku..
Apapun caraku menyebut posisi Callista di hidup ku, tetap saja tidak akan ada yang baik untuk di lekatkan padanya.
Karena memang kehadiran nya salah kan?
Sudah tahu salah, kenapa aku masih terus dan semakin tergoda menikmati hubungan tidak jelas ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Bulan Untuk Selamanya
RomanceWarning! Adult content 21+ Ketika sebuah rumah tangga, mulai kehilangan arah pernikahannya, akibat obsesi mengejar karir dan perfeksionitas pekerjaan. Kehilangan kesempatan untuk merekatkan hubungan diantara mereka, dan memberi celah masuk bagi peng...