PERMULAAN

9.9K 942 5
                                    

Sejak mas Barra memiliki nomer ponsel ku, setiap hari tidak pernah absen mas Barra menelpon ku bahkan mengirimkan sms padaku. Sehari minimal 3 kali dia menelponku, kalau sms, jangan ditanya. Mulai dari kalimat panjang lebar, yang menceritakan dia sedang apa, sampai kalimat – kalimat iseng.

" mas Barra : ngelihat teh botol, jadi inget kamu, Om BARRA apa kabar?"

Aku tergelak membaca sms itu, dia rupanya masih teringat kejadian hari itu, di parkiran pusat medis kampus.

"Kanaya : Om Barra nya baik – baik aja kok, nih lagi kirim – kirim sms"

"mas Barra : Om barra nya boleh ke kampus kamu ga siang ini?"

"Kanaya : Om barra ternyata tukang bolos kuliah ya? Lagian ngapain? aku bawa mobil"

"mas Barra : Om barra nya kelasnya cuma pagi hari ini, yaudah om barra nya ga bawa mobil kesananya, biar mobil aku titip tukang parkir, nanti sore aku ambil"

Satu sifat mas Barra, kalau sudah membuat keputusan tidak akan mau di tentang. Itu kelemahannya sebenarnya, tidak mau menerima masukan. Sebagai anak sulung, laki – laki, dan satu – satunya calon pemegang nama Rinaldi&Partners, dia memang sepertinya sudah di bentuk sedemikian rupa, menjadi pribadi yang tangguh dan keras.

Fadil, yang membelot dengan mengambil kuliah ekonomi, tentunya tidak akan bisa menjadi penerus Rinaldi&Partners. Dia akan meneruskan usaha orang tuanya di bidang konsultan keuangan. Orang tua mas Barra ini adalah pasangan Lawyer dan Financial Planner, keduanya memiliki firma masing – masing. Sebuah rumah tangga yang sibuk.

Mas Barra benar – benar menghampiri ku di jam makan siang. Seperti biasa kami makan siang di kantin kampus. Satu hal yang aku kagumi dari mas Barra, dia berasal dari keluarga yang super kaya raya, tapi dia low profile. Tidak segan – segan berbicara ramah pada setiap penjual makanan yang ada di kantin, menyapa siapa saja termasuk tukang parkir dan petugas kebersihan. Dia pribadi yang menyenangkan.

Lama – lama aku mengaggumi sosok mas Barra ini, dia pria yang dewasa, dan sepertinya bersandar padanya, adalah hal yang sangat nyaman. Aku dan mas Barra memiliki rentang usia sekitar 4 tahun.

"terus nanti mas pulangnya ini gimana? Kok ga bawa mobil?" tanyaku pada mas Barra yang sedang asik menikmati mie ayam nya.

"mas anter kamu pulang, habis itu mas naik taxi ambil mobil" jawabnya santai. Mungkin dia lupa, rumahku yang di daerah cipete, dan kampus nya di daerah jakarta barat.

"hari ini ga ke kantor papa?" aku mengangsurkan tissue ke padanya, dia kadang kalau makan suka semangat seperti anak umur 5 tahun.

"hari ini nggak, besok aja" dia malah memajukan wajahnya, meminta ku membersihkan noda di pipinya. Aku mencebik kesal, walau ku kerjakan juga maunya.

Mas Barra ini, sosok yang menghipnotis, kharismanya kuat, dia bisa mengintimidasi sosok lain dengan baik. Dia akan membuat orang mengikuti perkataannya, kemampuan persuasive nya memang luar biasa.

*****

Aku akhirnya menyelesaikan kelas terakhirku, dengan mas Barra yang bersikukuh menunggu. Sudah kubilang kan, mas Barra itu gak mau di tolak maunya? Dia sekarang duduk di perpustakaan, sambil mengerjakan beberapa berkas kantor di laptopnya. Papa nya sudah mulai melatih dia mengerjakan beberapa berkas hukum yang bersifat pemula. Dia benar – benar di persiapkan untuk itu.

"mas..." aku menepuk pundaknya, dia tertidur rupanya. Dia mengerjap, dan menoleh padaku lalu tersenyum.

"eh udah selesai?" aku mengangguk menanggapi nya

"yuk pulang" ajakku padanya, dia lalu merapihkan laptopnya dan kami berjalan menuju mobilku.

Kami mulai menembus padatnya jalanan ibu kota ini, bahkan di sore hari seperti ini juga padat. Aku sesekali melirik pria yang sedang mengemudi disebelahku ini.

Satu Bulan Untuk SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang