Barra,
3 hari ini, aku harus kembali lebih cepat dan berangkat sedikit terlambat. Aku memastikan Naya sudah makan dan meminum obatnya dengan baik. Bukan Naya yang memintaku untuk menemaninya sedikit lebih lama. Tapi aku yang memutuskan.
Sebagai dampak dari aku yang absen beberapa kali dari pertemuan – pertemuan dengan client. Wahyu dan Stevan harus maju menggantikan ku meeting. Beberapa kekacauan terjadi, ketika client menanyakan beberapa hal, dan mereka tidak punya jawaban yang baik atas itu. Sementara client membutuhkan jawaban yang memberi mereka titik terang.
Saat ini aku mengumpulkan seluruh anggota team ku di ruanganku.
"saya malu punya team seperti kalian ya, masa jawab gitu aja gak bisa? Kaya anak baru lulus kemarin sore aja. Kerjaan kalian kerjain sendiri, kenapa gak bisa jawab? Bego!"
Aku tersulut emosi, pasalnya, beberapa client mengirimiku pesan whatsapp menyatakan kekecewaan mereka. Menganggap utusan yang ku kirimkan tidak cakap.
"sorry pak,tapi kerjaan yang kita buat kan, dirombak bapak sampai 80% gitu. Major perubahannya, jadi kita juga gak paham dasar bapak ngerombak sampai nyaris total gitu kenapa. Gak ada briefing juga ke kita. Selama ini bapak selalu maju sendiri meeting, kita cuma nemenin aja"
Stevan ini terbilang cukup berani membantah, dia terang – terangan menghardik teguranku.
"jangan suka ngeles Van, salah ya salah! Sekarang saya gak mau tau, kalian draft email, untuk jawaban ke para client, kasih draft nya ke saya"
Lalu aku membubarkan meeting kecil ini, aku duduk kembali di kursi rapat ruanganku. Mengusap kasar wajahku. Baru aku tinggal 3 hari saja sudah seperti ini kacaunya.
Sampai tiba – tiba usapan lembut aku rasakan pada bahuku "gak usah pake marah – marah gitu kan bisa. Tenang sedikit dong ngomongnya. Mereka kan cuma berusaha ngebantu selama kamu absen"
Bahkan aku sedikit terkejut dengan kata – kata 'Kamu', namun pada saat aku menoleh padanya, dia sedang menatap lekat kepadaku. Tatapannya tidak bisa kuhindari, aku seperti terkunci. Usapan lembutnya tidak lepas dari lenganku, lalu dia meremas lembut punggung tanganku.
"aku pesenin makan siang aja ya? Mau makan apa? gado – gado sayur ya? Biar sehat. Muka kamu agak pucet" dia menggeser – geser layar ponselnya, membuka aplikasi pemesanan makanan lewat aplikasi ojek online.
Dia sempat menoleh padaku, dan memberikan ku senyuman lagi. Entah kenapa aku terpana dengan perlakuannya.
"capek banget ya?" dia mengusap punggung tanganku lagi, lalu sedikit meremasnya. Sambil menerima panggilan telepon dari driver yang memesankan makanan untuk kami.
****
Kanaya,
Akhirnya aku kembali bekerja, aku masih harus menjaga asupan makananku. Obatku masih harus aku minum. Dokter mengatakan peradangan pada lambungku tidak boleh dianggap remeh, jadi pola makan ku harus benar – benar diperbaiki.
Mas Denny tadi pagi menyambutku dengan antusias. Menanyakan details penyakitku, apa yang harus aku makan, apa yang tidak boleh. Bahkan menanyakan aku lupa membawa obat atau tidak.
"kamu harus rajin nyemil kan? Tambah kurus aja sih bun. Gak sehat lo" mas Denny yang selepas meeting diluar, kembali dan meletakan sekotak kue box di depanku.
"apa ini?" tanyaku bingung.
"tadi di bagiin kue, gak aku makan, soalnya inget kamu kan harus banyak ngemil. Isinya kue soes sama bolu, lemper nya jangan ya, ketan nanti perih di perut" dia tersenyum sekilas dan kembali mengaktifkan laptopnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Bulan Untuk Selamanya
Любовные романыWarning! Adult content 21+ Ketika sebuah rumah tangga, mulai kehilangan arah pernikahannya, akibat obsesi mengejar karir dan perfeksionitas pekerjaan. Kehilangan kesempatan untuk merekatkan hubungan diantara mereka, dan memberi celah masuk bagi peng...