LINGKARAN SALAH PAHAM

8.3K 730 37
                                    


Barra,

Kanaya benar – benar membentengi dirinya dariku. Sudahlah, ini belum seminggu kami di karantina bersama. Dia tidak diam – diam minggat dari rumah saja sudah bagus. Hampir setiap pagi, aku dihidangkan sarapan buatan Inah, dan makan siang yang harus ku pesan sendiri. Karena Kanaya juga hanya memasak untuk dirinya, dan memakan dikamar sambil asik melakukan kegiatannya.

Jujur, aku rindu masakan Kanaya. Inah sebenarnya tidak pandai memasak, masakannya kadang hambar kadang ke asinan. Dulu, sarapan pagi ku selalu Naya yang membuatkan, walau hanya se simple roti bakar yang di oleskan selai. Tapi tetap saja, rasanya luar biasa.

Kanaya memang sangat mahir urusan dapur. Bahkan dulu seisi rumahku berebutan brownies buatan Naya, padahal Naya sudah membawa 2 loyang besar, tapi papa dan Fadil sampai berantem berebutan potongan terakhir.

Kalau boleh jujur, masakan Callista pun tidak se enak Naya, selama ini Callista hanya membuatkan ku masakan – masakan standard. Tapi Naya? You named it, she made it.

Haha.. sekarang kau bangga – banggakan istrimu habis – habisan Barra, kemana saja kamu kemarin – kemarin?

Aku menatap nanar meja makan yang kosong, aku tidak bisa memasak. Bahkan aksi ku memasak bubur waktu Callista sakit itu, sebenarnya hanya beras yang ku masukan rice cooker dengan air super banyak dan ku taburi penyedap rasa.

Seperti biasanya, sabtu dan minggu, kami memang memberi izin para pekerja di rumah ini untuk menikmati libur mereka. Kadang mereka keluar rumah, kadang mereka berdiam saja dirumah kalau sedang malas. Kalaupun mereka berdiam dirumah, biasanya kami tidak terlalu banyak meminta bantuan mereka. Karena mereka sudah menjaga rumah kami hampir 24 jam sehari, selama kami berdua pergi bekerja.

Aku melihat Naya berjalan menuruni tangga, dengan membawa piring kosong di tangannya. Aku menimbang – nimbang, apa aku minta dibuatkan makanan atau tidak.

"Nay..." panggilku, aku berdiri disebelahnya yang sedang mencuci piring.

"hmm.." jawabnya acuh.

"mas... laper.." dia meliriku sekilas, sambil tangannya tetap sibuk mencuci piring.

"ya makan kalo laper" ucapnya sambil berlalu membuka kulkas, dan mengambil minuman kemasan. Hatiku rasanya perih mendengar Naya berucap seperti itu. Mana pernah dia menolak untuk membuatkan ku masakan.

Aku memegang lengannya dengan lembut "masakin mas.. please... gak ada makanan"

Dia memandang wajahku dengan tatapan datar "kan biasa yang masakin pacar kamu, bukan aku"

Aah.. satu lagi perubahan yang aku rasakan, dia sudah bisa dihitung dengan jari memanggil ku mas. Dulu memang aku yang memintanya memanggil ku dengan sebutan mas Barra, hanya keluargaku yang memanggil ku mas Barra, jadi aku ingin dia juga memanggil ku mas Barra. Oh well Callista juga, lama – lama aku merasa, Callista ini seperti berusaha menjadi Kanaya, mulai dari cara memanggil, berpakaian, menata rambut dan lain – lainnya.

Naya berlalu dan meninggalkan ku begitu saja. Aku pasrah, aku mencari – cari menu sarapan pada aplikasi online. Padahal aku sudah lapar, memesan dengan aplikasi paling tidak menunggu 45 menitan.

Aku merindukan sarapan cheese omelette and toast buatan Naya.

Aku duduk menunggu pesananku datang, aku menyalakan TV diruang keluarga,menonton siaran olah raga. Sepi sekali suasana rumah ini, hanya ada suara deru mobil formula 1 yang sedang beradu balap di siaran ulang ini.

****

Kanaya,

Lapar katanya? Bukannya dia sekarang sudah punya pacar idaman, yang selalu setia membawakannya bekal dari sarapan sampai makan malam? Buat apa sekarang dia minta – minta makan padaku. Mintalah sana pada pacarnya itu.

Satu Bulan Untuk SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang