BERKORBAN YANG SEPERTI APA?

5.1K 577 6
                                    

Hari – hari kami berlangsung seperti biasanya, bekerja, pulang sesuai rutinitas masing – masing. Mas Barra yang masih dengan jam kerja abnormal nya, dan aku yang masih bekerja lembur juga, walau tidak selembur mas Barra. Mama lagi – lagi menekankan masalah berkorban, ketika aku akan pamit pulang waktu itu.

"harus ada yang berkorban Nay, pastinya bukan pernikahan mu yang harus berkorban"

"berkorban gimana ma?"

"ingat kata – kata mama waktu itu? Apa cita – cita terbesar wanita yang sudah menikah? Itu saja coba kamu ingat lagi, kamu akan tahu apa maksud mama dengan berkorban. Selamatkan kondisi kalian sebelum semuanya terlambat"

Disini lah aku sekarang, berusaha untuk bangkit dari tidurku di pukul 3 pagi, kepalaku pusing sekali sebenarnya, aku masih sangat mengantuk. Semalam aku ( lagi – lagi ) baru pulang pukul 10 malam. Perusahaan tempatku bekerja ini, sedang giat – giatnya merubah spesifikasi produk, sehingga harus bolak balik UAT. Dan UAT biasanya menunggu semua divisi selesai dari BAU nya. Karena UAT memakan waktu yang cukup lama, dan tidak akan bisa dimulai sebelum semua divisi datang.

Aku meraih ponsel ku, mencari nama mas Barra dan melakukan panggilan telpon padanya.

"hallo sayang.. kenapa?" tanya di seberang sana, dari suaranya sepertinya mas Barra belum tidur. Suaranya terdengar sangat lelah.

"gak apa – apa, kebangun terus kangen aja" aku menyalakan speaker phone ku.

"gak bisa bobok?" tanyanya lembut, aku rindu suara itu.

"iya..." jawabku "pingin liat kamu" sambungku.

Kami pun melanjutkan panggilan telepon via video call, saling bertatapan. Mas Barra tampak acak – acakan, wajahnya lelah sekali.

"gak bobok mas?" tanyaku khawatir, dia hanya senyum menanggapi

"belum selesai Nay"

"mas gak ada asisten yang bisa bantuin emangnya? Harus mas semua yang kerjain?"

Dia menghela napasnya berat "ya memang begini kerjaan mas Nay.. kan kamu udah ngerti" dia sedikit menekankan kalimatnya.

Aku seketika merasa sudah menjadi istri yang nagging dan tidak pengertian.

"maaf sayang... jangan sampai sakit ya?" dia hanya membalas dengan senyuman tipis. Sepertinya aku menelpon disaat yang salah, telpon ku sepertinya malah mengganggu nya.

"mas... I love you.." ucapku padanya, dia menoleh padaku, membetulkan posisi duduknya dan mengangkat ponsel nya agar tepat berada di depan wajahnya

"I love you too sayangku... Naya for Barra ..."

Aku tertawa pelan mendengar rangkaian kata yang tersemat di cincin kawin kami.

"Barra for Naya..."

Lalu aku mengakhiri panggilan telepon kami, dan melanjutkan tidurku. Sekarang sudah pukul 4 pagi, artinya aku hanya punya waktu sekitar 45 menit sebelum adzan subuh berkumandang.

****

Akibat dari tekad ku melakukan panggilan telepon itu, sekarang kepalaku pening sekali di kantor. Aku tidak mungkin meminum kopi, karena aku punya penyakit maag. Akhirnya aku meminum peppermint tea, semoga membantu.

Sebenarnya ide menelpon mas Barra di pukul 3 pagi itu adalah ide Anindya, menurut nya aku perlu melakukan hal seperti itu sesekali. Selain membangun kembali komunikasi, sekalian mengecek apa mas Barra benar – benar bekerja, atau jangan – jangan berselingkuh.

Walau aku menyangkal mas Barra selingkuh, tapi nyatanya kata – kata Anin membuatku resah juga. Bahkan mas Barra bisa menjaga kesetiaannya dulu waktu di Leiden. Masa di sini gak bisa? Bahkan 2 bulan lagi, kami baru akan menginjak 1 tahun usia perkawinan.

Satu Bulan Untuk SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang