PERIH

7.6K 676 26
                                    


Barra,

Kata – kata Naya benar – benar menusuk ku. Usahanya sudah berakhir, di hari dia melihatku berselingkuh. Kesempatan untukku benar – benar sudah dia tutup rapat – rapat. Ingin rasanya aku mengamuk mendengarnya. Aku memilih menghindarinya dulu, dari pada aku menjadi hilang kendali.

Salahkah aku, jika aku masih ingin mempertahankan perkawinan ini? susah mana menceraikan dia atau meninggalkan Callista? Ini bukan pertanyaan yang harus ku jawab, jelas seumur hidupku, aku tidak akan pernah sanggup menceraikan Kanaya. Tapi meninggalkan Callista, aku juga butuh langkah yang sangat berhati – hati, ingat dia itu gila!

Bahkan dia beberapa kali mengancam akan datang kerumahku, dan menemuni Kanaya, kalau aku lagi – lagi berani memintanya menjauh dariku. Terpaksa, sungguh aku terpaksa, mengatakan padanya, kalau aku akan berhenti memintanya menjauh dariku. Dengan satu syarat, tolong biarkan aku sendiri dulu, aku butuh ketenangan. Dia mengiyakan, walau aku tidak tahu sampai berapa lama dia akan bertahan.

Sebenarnya temanku yang seorang psikolog itu, beberapa kali memintaku untuk membawanya menemuinya. Namun bagaimana cara aku membawanya kesana? Bahkan aku sekarang harus fokus menahan Kanaya pergi, bisa – bisa suasana semakin tidak karuan kalau tiba – tiba aku membujuk Callista untuk pergi bersamaku.

Aku berjalan tak tentu arah, akhirnya aku memutuskan menuju Mushalla. Masih ada waktu untuk sholat Dhuha, aku lebih baik berwudhu dan sholat, aku butuh ketenangan. Aku menjalankan sholat dhuha, aku duduk bersimpuh dan memanjatkan doa, memohon pertolongan, agar aku bisa keluar dari semua ini. pintaku hanya satu, jangan ambil istriku dari sisiku.

Aku mendengar panggilan untuk boarding dengan pesawat tujuan Bali. Aku bergegas mengenakan sepatuku, dan kembali menuju lounge. Kanaya masih duduk disitu, dia sedang mengemasi barang – barangnya kedalam tas lagi. Jacket ku, ku tinggalkan di sofa disebelahnya, aku mengambil jacket itu dan mengenakannya. Kami berjalan beriringan, aku hanya menuntun nya dengan sedikit menyentuh punggungnya dengan telapak tanganku.

****

Kanaya,

Namanya suami istri, mau diapain juga ya tetap saja, ada kebiasaan – kebiasaan yang tidak bisa kami hilangkan. Bertahun – tahun kami terbiasa berjalan bersisian sambil entah bergandengan, berangkulan atau mas Barra yang memeluk pinggangku. Lalu kini kami berjalan bersisian, dengan aku yang melipat kedua tanganku didepan dada, dan mas Barra yang tampak kikuk harus berbuat apa, karena susana tegang yang baru saja tercipta.

Kami memang pasangan, yang tidak ragu menunjukan sedikit PDA ( public display of affection ) selama ini. Bahkan predikat mesra selalu melekat pada kami berdua.

'kayak mas Barra sama mbak Naya gitu lo, jadi suami istri, mesra, mas Barra tuh mbak Naya digandeng terus kemana – mana, kayak takut hilang'

Para kerabat dan keluarga kami, tak jarang menjuluki kami seperti itu.

Gak tau aja mereka, pasangan mesra ini, kalau malam tidurnya sendirian, sering aku merutuk seperti itu didalam hati, ketika mendengar pujian – pujian dari mereka.

Sekarang kami sedang mengantre untuk masuk kedalam pesawat di Garbarata, mas Barra yang sedari tadi tampak bingung harus berbuat apa dengan tangannya, akhirnya meletakan telapak tangannya menempel canggung di punggungku. Menggiringku berjalan mengikuti jalur antrian.

Aku memilih duduk di sisi jendela, dan mas Barra di aisle. Pramugari mulai membagikan handuk hangat kepada kami, aku pun mengambil satu dan mengusapkanya pada tanganku, rasanya nyaman sekali. Selesai ritual ini dan itu sebelum lepas landas, suasana kembali awkward. Duduk bersebelahan, tidak saling bicara, akhirnya aku menatap keluar jendela saja.

Satu Bulan Untuk SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang