Barra,
Tahukah Naya, ketika dia berkata 'like we ever had a time', sungguh itu rasanya ulu hatiku tertohok dengan sangat keras. Bahkan di usia pernikahan kami, yang hampir menginjak satu tahun ini, hampir tidak pernah kami duduk bersama membicarakan suatu hal yang penting. Hanya obrolan singkat di pagi hari jika sempat, obrolan di dalam mobil di kala weekend, dalam perjalanan menuju orang tua kami, atau berbagai undangan.
Semua masalah kami, selalu selesai dengan kata maaf. Hebatnya kami, tidak perlu gengsi siapa yang harus lebih dulu mengucap maaf. Kadang aku mengucap maaf, kadang Naya.
Maaf lalu masalah kami tutup. Tapi masalah selalu kami tutup dalam keadaan menggantung. Aku bahkan tidak pernah bertanya, keberatan kah Naya dengan semua ini? aku takut mendengar jawabannya.
Karena, jika Naya berkata dia keberatan, aku tidak siap, merubah kembali semua ritme ini. tidak mungkin aku mengorbankan pekerjaan – pekerjaan ku di kantor.
Tapi... apa mungkin aku mengorbankan perasaan Naya?
Dalam 2 tahun aku sudah harus bisa menjadi seorang Jr Partner, bukan target yang main – main dari papi ku. Bahkan, jika aku bekerja di firma lain, aku akan butuh 3-5 tahun dari posisi ku sekarang ke posisi itu. Dalam 10 tahun papi menargetkan aku sudah bisa mengambil alih posisi papi.
Sebenarnya bukan tanpa alasan papi memberiku target seperti ini, papi menikah cukup lambat, sehingga sekarang usia papi juga terbilang sudah cukup banyak. Papi tidak yakin, 10 tahun lagi papi masih sanggup duduk di firma ini mengelola semuanya.
Kanaya, istri yang sangat pengertian, nurut dan tidak pernah membebani pikiranku dengan bertingkah menyebalkan. Dia bahkan bisa dengan cepat membaca raut wajah ku, yang menyiratkan ketidak sukaan atas sikapnya, dan dia akan langsung menghentikan hal – hal yang membuatku tidak senang itu.
Dia sangat mengerti aku....
****
Kanaya,
Aku, mami, papi, Fadil dan calon istrinya Liza, sekarang sudah di executive lounge bandara, menunggu pesawat dengan penerbangan tujuan Surabaya.
Mas Barra? Dia nanti langsung ke Surabaya dari Medan.
Fadil ini sebenarnya cukup beruntung, dia penerus firma konsultan financial milik mami. Jadi masalah rencana kedepan mau seperti apa, dan Fadil harus punya target apa, itu semua urusan mami. Papi hanya berperan sebagai dewan pengawas dan konsultan hukum nya saja.
Mami lebih 'manusiawi' dalam menetapkan target ke Fadil. Sehingga Fadil tidak se gila mas Barra dalam menjalankan pekerjaannya.
Aku akui, kalau masalah materi, mas Barra jelas akan mengantongi lebih banyak uang. Tapi target nya juga lebih tinggi. Dan Fadil akan mendapatkan sedikit lebih rendah dari mas Barra, tapi, lihatlah dia? Bahkan bisa ambil cuti dan duduk manis disini bersama kami.
"aku baru boarding mas, sebentar lagi hp mati ya. Nanti landing jam berapa di Surabaya?"
Aku sedang melakukan panggilan telpon dengan mas Barra
"jam 3 mungkin udah landing, nanti mas naik taxi langsung ke hotel aja. Tinggalin aja 1 kartu kunci di receptionist biar mas gausah ganggu kamu istirahat"
"oke... don't be late ya mas... nanti malam midodareni nya kan"
"I know.. I know... gausah diulang – ulang Naya"
"aku cuma nyampein pesan mami mas.. I'm off, assalamualaikum"
Lalu aku mendengar jawaban salam di penghujung sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Bulan Untuk Selamanya
Roman d'amourWarning! Adult content 21+ Ketika sebuah rumah tangga, mulai kehilangan arah pernikahannya, akibat obsesi mengejar karir dan perfeksionitas pekerjaan. Kehilangan kesempatan untuk merekatkan hubungan diantara mereka, dan memberi celah masuk bagi peng...