Kanaya,
Walau terlambat, perlakuan mas Barra waktu itu begitu manis. Aku memutuskan tidak bertanya, kenapa dia bisa tidak ingat. Setidaknya masih ada usaha untuk memperbaiki. Apalagi, dia memutuskan untuk tidak kekantor hari itu, dan menemaniku.
Kami tidak kemana – mana, hanya berdiam dirumah. Aku membuatkan kue kesukaannya, dia tampak senang sekali. Siang kami ke supermarket, untuk groceries shopping, sebuah hal sederhana namun sangat kurindukan. Aku biasanya, groceries shopping sepulang kantor, karena aku tahu, menunggu mas Barra bisa menemani adalah sia – sia.
Satu hari itu saja, mas Barra berbuat manis kepadaku. Itu saja aku sudah senang sekali. Kadang aku merasa bodoh, apa memang cinta seperti ini? rela berdarah – darah, lalu mendadak merasa cukup, hanya karena diberikan satu hari kesenangan?
Hari ini, mas Barra kembali seperti semula. Menghilang, entah kemana. Sudahlah, aku juga sedang di kantor. Dengan mas Denny yang selalu bisa menggantikan mas Barra, mengisi rasa haus ku akan perhatian. Katakan aku haus perhatian, biarkan. Aku hanya wanita biasa, aku pernah merasakan manisnya perhatian mas Barra, sekarang aku masih bersama dia, tapi dia yang dalam bentuk yang aku tidak kenali.
AC di gedung kantorku rusak, mendadak satu lantai ini rasanya gerah sekali. Rambutku sedari tadi ku gerai, aku mengipasi diriku menggunakan lembaran kertas yang ada dimeja.
Sebagian karyawan lantai ini, berhamburan mencari spot kerja di cafe – cafe terdekat. Sedangkan aku? Terjebak disini, karena aku tidak mungkin membawa tumpukan dokumen yang baru saja masuk ke mejaku ini. aku dikejar deadline.
Mas Denny dari tadi entah kemana, aku tidak melihatnya, mungkin dia juga mencari tempat yang lebih sejuk. Sudahlah aku sendirian disini.
Disaat aku fokus ke lembaran – lembaran didepan ku ini, aku merasa rambutku ada yang menjalin menjadi satu. Ketika aku terperanjat, aku mendengar suara.
"ssst.. jangan usrek, aku kan gak bisa ngiket rambut kamu"
Aku mendongak, ternyata mas Denny, dengan wajah serius nya berusaha menyatukan rambutku dengan sebuah karet, yang entah dia dapat dari mana.
"udah... lumayan kan?" dia sumringah bangga, seolah habis memecahkan suatu penelitian sulit. Aku tertawa melihat ekspresi wajahnya.
"dapet dari mana?" aku meraba – raba rambutku yang sudah terikat, walau posisinya asimestris, tapi sudahlah, nanti saja kuperbaiki nanti dia kecewa.
"tadi nyari di pantry gak ada karet apa – apa, yaudah aku ke bawah tadi, ada warung kan tuh deket parkiran motor. Dia ada karet ternyata" jawabnya santai sambil meneguk segelas besar air putih dingin.
"gak ngadem aja mas?"
"nanti, tunggu kamu juga udah bisa turun" jawabnya santai, tanpa melihatku. Gayanya yang memperhatikan ku, tapi tetap terlihat cool, tidak berlebihan justru membuat ku jadi berdesir.
****
Barra,
Sungguh, kepalaku rasanya ingin ku copot saja. Callista semakin membuatku gila. Bagaimana tidak? Dia marah besar, karena lagi – lagi, aku membatalkan tanpa kabar, acara makan bersama kami.
Sebenarnya makan bersama ini, ritual yang dia ciptakan. Dengan setiap pagi menyiapkan ku sarapan, makan siang dan makan malam. Aku berusaha sebisa ku untuk mengurangi kebersamaan kami. Beberapa kali, aku berpura – pura lunch meeting diluar kantor.
Dan hari ini, dia menghampiriku dengan wajah memerah menahan tangis. Membanting kotak bekal yang biasa dia bawakan untukku kedepanku. Ketika aku ingin meluapkan emosiku melihat perilaku kurang ajarnya, dia menghambur memelukku, menangis terisak – isak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Bulan Untuk Selamanya
RomanceWarning! Adult content 21+ Ketika sebuah rumah tangga, mulai kehilangan arah pernikahannya, akibat obsesi mengejar karir dan perfeksionitas pekerjaan. Kehilangan kesempatan untuk merekatkan hubungan diantara mereka, dan memberi celah masuk bagi peng...