FAKTA YANG TERUCAP

8.7K 684 8
                                    

Kanaya,

Aku terbangun dalam dekapan mas Barra, sejujurnya aku nyaman didalam rengkuhannya, apalagi kepalaku bersandar pada dadanya, aku merasakan detak jantungnya begitu dekat. Aku berdiam sejenak didalam dekapan itu, menikmati setiap detak jantungnya di telingaku.

Aku bergerak perlahan dari pelukannya, menggeser perlahan tangannya yang memelukku semalaman. Sekarang baru pukul 4 pagi, masih sangat gelap. Aku berjalan kekamar mandi dan membasuh wajahku. Wajahku tampak sangat kacau, mataku bahkan bengkak terlalu lama menangis.

Aku bahkan belum berganti pakaian dari kemarin, akhirnya aku membasuh tubuhku dengan air hangat, membiarkan lelehan air hangat ini mengaliri seluruh tubuhku. Sesudahnya aku mengganti pakaianku dan mengambil air wudhu, sudah waktunya sholat subuh.

Aku menggelar sejadahku ke arah kiblat, mengenakan mukena ku, sampai sebuah suara menyapaku "sayang.. tunggu mas, kita jamaah"

Akhirnya aku duduk di sisi tempat tidur, menunggu mas Barra yang mandi dan berwudhu. Dia keluar dengan penampilannya yang lebih segar. Aku sebenarnya ingin tertawa melihat isi kopernya, berantakan. Sepanjang pernikahan kami, mas Barra itu sudah lupa dengan yang namanya mengemasi pakaiannya sendiri ketika hendak travelling. Selalu aku yang merapihkan isi kopernya. Lihatlah kopernya sekarang, sepertinya pakaian – pakaian itu dimasukan tanpa dilipat lebih dulu.

Bahkan dia harus mengacak – acaknya isinya hanya untuk mencari t-shirt nya.

Akhirnya kami melaksanakan sholat subuh secara berjamaah, seperti biasa mas Barra akan mengulurkan tangannya untuk ku raih, dia akan merangkum wajahku dengan kedua telapak tangannya dan mengecup keningku, lalu membacakan doa di ubun – ubun ku.

Aku tertunduk lesu ketika dia membacakan doa itu untukku, mungkin ini akan menjadi saat – saat terakhir aku mendapatkan doa itu dari nya.

Aku melangkah keluar area kamar untuk membuat teh hangat, sampai aku merasakan pelukan di tubuhku. Mas Barra memeluku dan mengecup bahuku.

"mas minta waktu kamu sebentar ya, kita ngomong" lalu dia berlalu dan duduk di tepi kolam renang. Aku akhirnya membuat satu gelas lagi teh hangat untuknya.

Sepertinya sudah saatnya, aku mendengarkan apa yang sebenarnya ingin dia sampaikan padaku. Benar kata Anin, tidak bisa kami terus berada di titik stagnant seperti ini, tidak maju, tidak mundur tapi hanya berada pada lingkaran pertengkaran. Mas Barra tentu tidak akan pernah menerima keputusanku untuk meminta cerai, tanpa aku mendengar terlebih dahulu penjelasannya. Setelah itu, aku akan bisa memutuskan dengan lebih jelas.

Aku duduk disampingnya dan mengulurkan segelas teh hangat untuknya, dia menepuk sisi kosong disampingnya, aku pun duduk disampingnya. Kami sejenak hening menyesap teh hangat kami. Langit yang gelap, mulai beranjak jingga, matahari akan segera terbit. Sejenak aku menikmati keindahan alam ini, pikiranku melayang jauh memandang keindahan, sampai suara mas Barra memecah lamunanku.

"sayang... mas mau izin jelaskan semuanya sama kamu" dia meraih satu tanganku dan menggenggam nya erat, sangat erat seperti dia takut aku melarikan diri.

Aku hanya menganggukan kepalaku, memberinya kesempatan untuk menjelaskan.

"mas mau jelaskan kondisi mas dengan Callista" jujur hatiku teremas perih, setiap mas Barra menyebut nama perempuan itu. Aku menghela napas ku resah.

"apa yang bikin mas jatuh cinta sama dia?" tanyaku pada mas Barra, sebuah pertanyaan yang sejujurnya semua wanita juga tahu, jawabannya hanya akan menambah sakit di hati. Tapi aku butuh, jadi aku bisa mengukur seberapa penting aku di kehidupan mas Barra. Dan mas Barra menggeleng lemah.

Satu Bulan Untuk SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang