RINDU ATAU TIDAK?

5.3K 585 3
                                    

Barra,

Kangen istri gak? Ini pertanyaan yang sering aku dengar, dari candaan teman – teman kantorku. Ini harus di jawab ya? Ya jelas kangen lah. Baru beberapa bulan kami menikah, harusnya masih anget – angetnya kan? Masih sering – seringnya peluk – pelukan, cium – ciuman dan pastinya sedang giat – giatnya berhubungan.

Tapi aku bisa apa? I am Rinaldi kalau kalian lupa. Persaingan dunia Lawfirm di ibu kota ini tidak main – main. Papa sudah set target untukku, dalam 2 tahun kedepan, aku sudah harus pantas menduduki posisi Junior Partner. Bahkan aku sudah mulai di terjukan ke pekerjaan di Lawfirm ini sejak aku menginjak semester 6.

Aku tidak memiliki banyak sejarah berpacaran, entahlah, aku tidak mudah jatuh cinta. Tapi berbeda dengan ketika melihat Kanaya. Rasa penasaran itu begitu kuat, sejak hari pertama melihat Kanaya.

Aku masih ingat wajahnya yang masih kekanakan sekali, waktu pertama kami bertemu. Kanaya yang baru lulus SMA, salah baris dan aku bentak. Sebenarnya ga niat bentak, cuma aku kesal aja, ada anak pita kuning nyasar ke barisan pita merah.

Dalam hati berkata, ini cewe buta warna apa gimana? Sampai akhirnya aku bentak, dan dia mendongakan kepalanya, aku malah jadi terpesona sendiri.

Habis itu rasanya canggung sekali, mau lanjutin sok bentak, aku gak tega. Tapi aku harus jaga wibawa didepan junior – junior lainnya.

Kanaya, Istriku, dia bahkan ga lelah – lelah berusaha menghidupkan komunikasi diantara kami. Diantara kami, dia yang hampir selalu, lebih dulu menelpon atau mengirim pesan.

Bukan aku tidak mau atau gengsi, tapi sungguh, gak sempat. Kadang aku frustasi sendiri menghadapi pekerjaan ku, sampai seperti ini kah? Atau aku yang terlalu berlebihan menghadapi pekerjaan? Banyak di kantor ini yang sudah menikah, bahkan punya anak. Mereka juga pulang malam, walau tidak sampai pagi seperti aku.

Tapi aku lihat, mereka masih sempat menelpon anaknya yang masih bayi, hanya untuk sekedar mendengar mereka mengoceh – ngoceh.

Seperti saat ini, aku semobil dengan Bernard rekanku, anaknya baru berusia 4 bulan, dia sedang bahagia – bahagianya. Mereka sedang ber video call disampingku, aku mendengar suara bayi mengoceh tidak jelas, dan Bernard tampak sangat bahagia.

Pernah dia bilang padaku, beranikan diri larang istri kerja, kalau memang situasi udah ga teratasi. Bernard memang mengambil keputusan berani, dengan meminta istirnya resign, karena jam kerja mereka yang selalu bersimpangan tidak jelas. Dan keputusannya itu tepat, 3 bulan setelah istrinya resign, istrinya dinyatakan hamil. Dan sekarang hari – hari mereka bisa lebih tertata.

Aku? Jujur aku tidak sampai hati. Naya tampak menikmati pekerjaannya, anak juga kami belum ada tanda – tanda. Aku yang sering pulang tengah malam, bahkan kadang menjelang subuh? Bagaimana aku bisa membayangkan Kanaya yang sendirian hanya bersama ART dan tukang kebun dirumah, dari pagi ketemu pagi lagi?

Kanaya bukan tipikal wanita yang ber arisan, kumpul – kumpul heboh khas ibu – ibu muda Jakarta. Sahabatnya, Anindya, sekarang juga bekerja di sebuah perusahaan minyak dan gas. Jadi tidak mungkin Kanaya mengandalkan Anin untuk diajak – ajak ketemuan kan?

Kalau bicara rindu, aku sudah bingung harus pakai bahasa apa. setiap aku pulang, Naya sudah tidur. Wajah tidurnya yang membuat hatiku perih, karena jarang menemani dia. Kami saling merapatkan tubuh kami, dan tidur bersama. Pagi harinya, Naya biasanya akan membangungkan untuk sholat subuh, kadang aku terbangun kadang tidak.

Entahlah, sholat ku yang tadinya lengkap, sejak kerja malah jadi bolong – bolong.

Naya biasanya akan mengecupi wajah dan bibirku sebelum dia berangkat bekerja.

Seringnya aku pulang pukul 1-2 pagi. Jarang aku kembali dibawah pukul 12 malam. Sesekali ( walau jarang sekali ) aku pulang pukul 10 malam. Kalau aku pas bisa pulang pukul 10 malam, maka kami biasanya berhubungan suami istri. Atau pagi hari dikala weekend.

Jadi untuk ukuran pengantin baru, frekwensi berhubungan sex kami ya..... bisa di hitung pakai jari.

Bukan, bukan aku tidak bernafsu pada istriku. Astaga, kalau kalian lihat bagaimana rupa istriku, hanya laki – laki bodoh yang tidak tertarik padanya. Apalagi aku, suaminya, aku sudah merasakan manis tubuhnya, dan aku tidak ketagihan? Sudah gila berarti aku.

Tapi apa aku tega, pulang jam 2 pagi, membangunkan istriku yang sudah terlelap, untuk melayani ku? Itu namanya sex bukan making love. Aku pernah membaca di sebuah majalah wanita, ketika menemani mami ku ke salon beberapa tahun lalu ( iya aku sudah mati gaya nungguin mami di salon sampai membaca majalah wanita ) bahwa perempuan dalam berhubungan sex itu, ingin merasa dicintai dan dipuja, bukan hanya sekedar dinikmati tubuhnya saja.

Dan kalau aku tega membangunkan dia di jam tidak wajar begitu, hanya untuk melayaniku, maka aku hanya ingin menikmati tubuhnya, bukan mengasihinya.

Agama memperbolehkan ku, mendekati istriku dari sisi mana saja. Bahkan mengizinkan ku meminta hak ku sebagai suami kapan saja. Tapi aku putuskan untuk tidak meminta, dan menunggu sampai waktunya nyaman. Walau aku harus menahan diri mati – matian.

Terlalu banyak dosaku pada Kanaya, mulai dari pesan yang tak terbalas, telpon yang tak terangkat, pulang tengah malam. Waktu mengobrol yang hampir tidak ada.

Bahkan aku baru ingat, aku belum membalas pesan Naya tadi pagi.

Sorry be right back, aku membalas pesan Kanaya dulu.

"Barra : sayang.. maaf baru bales ya, udah makan yang? I miss you... mas jalan meeting dulu ya"

"NayyaforBarra: iya mas, gak apa – apa, ini lagi lunch sama teman – teman. Mas jangan lupa makan ya, I miss you too"

"telpon Bar... kalau cuma bales – balesan chat, namanya saling kirim kabar, bukan komunikasi" Bernard yang ada disampingku tiba – tiba menyahuti. Aku hanya meliriknya sekilas.

"sorry sok tahu, tapi lo masih pengantin baru, baru berapa bulan married. Jangan sampe belum – belum komunikasi udah mampet. Just an advise dari yang udah duluan" .... "dulu Eva pernah minta cerai dari gue Bar.. katanya pernikahan kami hambar"

Aku menoleh kaget mendengar cerita Bernard barusan, selama ini ku pikir semua baik – baik saja. Aku tidak akan sanggup kalau sampai harus mendengar Naya minta cerai dari ku.

"kalau risih ada gue disini, next lo pakai lah driver sendiri. Hidup lo jangan dibuat susah lah, sekantor juga tau lo siapa, wajar kalau fasilitas lo lebih. Dari pada lo sok ngikutin prosedur, tapi ngorbanin komunikasi sama istri kaya gitu" dia menepuk pundaku, lalu memejamkan matanya.

Hal lumrah bagi kami para lawyer, dimana kami sempat memejamkan mata, kami akan gunakan kesempatan itu.

Aku merenungi kata – kata Bernard, apa benar aku sudah mengorbankan komunikasi diantara kami. Tapi masalahnya, Naya tidak pernah mengungkit hal ini. dia tidak masalah.

"Barra: iya mas nanti makan di tempat client, I love you sayang.."

Satu Bulan Untuk SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang