JANGAN ADA KATA BARRA LAGI

7.4K 695 11
                                    

Barra,

Hari – hariku terasa seperti orang gila. Bayangkan, setiap beberapa hari sekali, aku mengemasi pakaian di koper, dan meletakannya di dalam bagasi mobil. Bukan, aku bukan dinas keluar kota, aku hanya melarikan diri dari wanita yang hampir selalu ada didalam apartemenku. Setiap kali dia tidak berhasil aku usir, aku akan segera pergi meninggalkan apartemenku, entah aku tidur di kantor, hotel atau rumah orang tuaku.

Rumah orang tuaku selalu menjadi pilihan terakhir, karena papi sampai sekarang masih menolak berbicara padaku. Bahkan perceraian ku sudah berlangsung cukup lama, sudah hampir menginjak 5 bulan. Tapi sepertinya ini tidak akan pernah termaafkan.

Aku juga sudah mau gila rasanya, melihat Callista yang semakin merasa bebas keluar masuk apartemenku.

"sarapan dulu mas..."

Sekilas orang melihat ku dan Callista, mungkin seperti aku ini laki – laki yang menyia – nyiakan wanita sebaik Callista. Setiap pagi sarapan sudah terhidang, nanti aku pulang malam dia juga sudah menyiapkan makan malam di meja makan, apartemen yang selalu rapih, padahal Inah seminggu tiga kali selalu datang untuk membersihkan semuanya.

Aku melewati meja makan begitu saja, aku langsung menuju pantry dan mengambil segelas air putih dingin. Tanpa berbicara apa – apa, aku langsung menuju pintu keluar.

"mas.. sarapan dulu" panggilnya sekali lagi, aku hanya menoleh sekilas dan menatap ke arah meja makan.

"no thanks" jawabku sambil berlalu keluar.

Sedikit ada perubahan dari sikap Callista, yang tadinya begitu agresif, belakangan ini dia tidak lagi melawan setiap penolakanku. Tampak lebih pasrah melihat perlakuanku padanya.

Bukan aku sengaja ingin berbuat jahat padanya, tapi sungguh aku tidak tergerak untuk menerimanya sama sekali. Aku lebih memilih menyendiri untuk saat ini. apalagi kalau aku harus belajar memulai lagi hubungan ku, dengan wanita yang jelas – jelas menjadi sumber perpecahan rumah tanggaku. Aku sangat tidak bisa.

"kenapa gak lo usir aja sih, Bar si Callista itu?" aku sedang makan siang bersama Ale dan Adrian "lo biarin dia terus – terusan bertingkah, seolah – olah dia itu seseorang di hidup lo kayak gini, ya sampai kapan juga dia bakalan terus berharap lah. Gak usah takut dia bunuh diri lagi begitu"

Adrian selalu berapi – api setiap kali, kami bertiga membahas masalah Callista.

"setuju gue Bar, gimana lo mau rujuk sama Kanaya, kalau Callista muter aja disekitaran lo? Apa jangan – jangan lo sekarang, milih Callista?"

Aku membanting serbet makan yang sedang ku gunakan untuk menyeka mulutku, mendengar ucapan Ale "gila lo gue milih Callista. Habis Kanaya gue dapet Callista? Gila aja"

"ya, kenapa harus gak bisa? Kalo menurut lo kualitas Callista jelas – jelas dibawah Naya, nyatanya dulu lo selingkuhin Naya demi Callista kan?"

Ucap Ale cuek sambil menyuapkan sesendok penuh makanan kedalam mulutnya.

"gue dulu manusia super bodoh Le"

"btw, ada kabar dari Naya?" tanya Adrian padaku, dan aku hanya menggeleng lemah.

"kemana ya itu anak? Bisa menghilang gitu aja? Lo gak ada kenalan siapa – siapa gitu di Bournemouth? Kan temen lo dimana – mana Bar" Adrian menuntaskan kalimatnya lalu menenggak air mineralnya.

"atau lo susulin lah kesana Bar.. perempuan butuh diyakinkan" lanjut Ale, "tapi sebelumnya, pastiin Callista udah lo singkirin dulu" imbuhnya lagi.

****

Menyusul Kanaya ke Bournemouth? Apa dia mau menemuikku? Pikiran ini terus berkecamuk dikepalaku, aku mengendarai mobilku menuju apartemen. Aku lelah melarikan diri dari rumahku sendiri, sepertinya aku harus memikirkan strategi baru untuk mengenyahkan Callista. Tapi bagaimana?

Satu Bulan Untuk SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang