MENGIKAT JANJI

7K 689 7
                                    

Mas Barra itu, gak pernah main – main dengan kata – katanya. Kalau dia bilang ingin melakukan sesuatu, ya berarti dia memang sudah pikirkan baik – baik. Mas Barra, benar – benar segera membereskan segala urusannya, begitu dia sampai di Indonesia lagi. Tidak ada satu hari pun yang dia sia – sia kan hanya untuk sekedar bersantai – santai.

Sampai akhirnya, terlaksanalah sudah kunjungan lamaran resmi, dari keluarga mas Barra ke keluargaku. Walau dari segi usia, kami berdua masih tergolong muda, tapi kami mantap untuk menuju pelaminan. Tidak ada keraguan sedikitpun, yang kutemukan dari sorot mata mas Barra ketika melamarku.

Mas Barra sudah menjelaskan padaku, bagaimana ritme kerjanya nanti sebagai seorang Lawyer. Apalagi papa nya sudh menargetkan dalam 2 tahun mas Barra sudah harus bisa, berada di level Senior Associate, lalu akan di persiapkan untuk menjadi Junior Partner di firma hukum itu.

Sesuai janjinya, dia mengganti cincin yang dia berikan, dengan sepasang cincin pertunangan kami. Sekarang kami benar – benar resmi bertunangan.

Kedua belah pihak keluarga, sepakat, pernikahan akan dilaksanakan 3 bulan lagi. Dengan acara akad nikah, yang akan dilaksanakan di kediaman orang tuaku. Mama – mama kami, langsung sibuk membicarakan konsep pernikahan, akan diaksanakan dimana dan lain – lainnya.

Sebagaimana umumnya, pernikahan adalah perhelatan para orang tua, kami sebagai anak – anak, nurut saja. Kalau kata mas Barra, yang penting sah.

Aku masih menatap jemariku takjub, cincin pertunangan, yang diatasnya juga ku sematkan cincin dari mas Barra 3 tahun yang lalu. Rasanya seperti mimpi, pertemuan dengan mas Barra itu kilat, hanya pendekatan sebentar, mas Barra langsung minta serius. Tidak sampai 1 tahun, mas Barra langsung melamarku secara personal. Dan sekarang? Kami akan segera melaju ke jenjang pernikahan.

****

"mas nanti gak mau pakai warna apa?"

Aku sedang berada di butik pakaian pengantin, memilah – milah model kebaya pengantin untuk akad, dan gaun untuk resepsi. Satu hal yang sering ku dengar dari pria yang akan menikah, mereka suka tersiksa dengan warna pilihan mempelai wanita. Jadi sebaiknya, aku juga membicarakan dengan mas Barra agar bisa di carikan jalan tengah.

"mas gak mau warna Pink sama kuning. Terserah kamu aja warnanya asal gak dua itu"

Aku masih membolak balik majalah, mencari – cari model yang pas untukku dan mas Barra.

"kalau akad, kayaknya emang mau gak mau putih ya mas, apalagi mama maunya kan aku di rias jawa. Kalau resepsi, mungkin kamu pakai tuxedo hitam aja ya, yang wajar aja. Ga tega juga aku liat kamu di dandanin macem – macem"

Mas Barra hanya mengangguk paham, sambil tatapannya fokus membalas pesan – pesan di ponsel nya.

"mas iiih ga dengerin deeeh"

"iya sayang dengerin, mas dengerin, ini balas pesan dari kantor dulu sebentar"

"sabtu – sabtu banget mas?" mas Barra merangkulku dengan lembut, dan mengusap bahuku.

"nanti mas juga bakalan kaya gitu yang, mas harap nanti kamu bisa ngerti ya?"

Aku hanya mengangguk sambil melanjutkan memilih gaun – gaun dan tuxedo untuk kami.

Sampai akhirnya pilihan jatuh pada gaun pengantin berhiaskan lace, pearls dan beberapa aplikasi bunga dan kristal, berwarna nude pink. Untuk mas Barra dia akan menggunakan tuxedo hitam, dan kemeja putih.

****

3 bulan, bukanlah waktu yang panjang, apalagi untuk mempersiapkan pernikahan. Terkadang mas Barra pun tidak sempat membantu mempersiapkan pernikahan. Tetapi kedua mama ku selalu setia menemaniku, dan menasihati, bahwa beban laki – laki dalam bekerja itu, berbeda dengan wanita.

Satu Bulan Untuk SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang