JALAN YANG PAHIT

7.6K 647 12
                                    

Kanaya,

Mas Barra tiba – tiba memelukku dari belakang, dia memelukku sangat erat, mengecupi kepalaku, mengucap kata maaf bertubi – tubi. Aku tidak mampu bereaksi apa – apa, aku hanya bisa menangis dan menangis. Aku pun merasa bahu mas Barra bergetar, dia juga menangis.

Kami menghabiskan malam, hanya dengan saling berpelukan, tidak saling bicara. Entah apa yang ada di pikiran mas Barra, yang jelas, saat ini aku tidak mampu berpikir apa – apa. aku tidak tahu harus merasa apa, marah? Kesal? Kecewa? Sedih? Takut? Aku bahkan bingung mana yang harus kurasakan lebih dulu.

Yang kurasakan saat ini, hanya dadaku terasa sesak. Sangat sesak.

"aku mau pulang mas" sepatah kata yang akhirnya keluar dari mulutku, dipagi hari selepas kami menunaikan sholat subuh.

Mas Barra menanggapi dengan mengangguk.

Kami berdua turun ke lantai satu, dimeja makan sudah ada mami dan papi, yang menatap mas Barra dengan tatapan seperti ingin membunuhnya. Dan benar saja sesuai dugaanku, begitu mas Barra mendekati meja makan, papi langsung berdiri dan melayangkan tinju tepat di wajahnya.

Papi murka, bahkan jauh lebih murka dibanding ketika dia tahu mas Barra berselingkuh. Mas Barra yang pasrah dengan serangan papi, hanya diam saja menunduk dan menerima dengan pasrah setiap pukulan papi.

Mami yang memohon – mohon agar papi berhenti, dan aku yang hanya bisa terisak menangis. Sampai akhirnya aku tidak tahan lagi, ketika tinju papi sudah akan melayang diudara, reflek aku memeluk mas Barra, menghalangi papi untuk memukulnya. Mas Barra pun reflek memelukku, berusaha menyembunyikan tubuhku dibalik tubuhnya.

"papi... Naya mohon udah pi... udah...." air mataku kembali mengalir deras, aku memohon pada papi agar papi berhenti menghajar nya habis – habisan.

Papi berteriak mengamuk, dia bahkan berucap, firma tempat Callista bekerja, menghubungi papi, meminta klarifikasi atas kebenaran berita, salah satu karyawannya melakukan percobaan bunuh diri di firma papi. Masalah benar – benar menjadi runyam.

Aib sudah tersebar luas, perihal skandal perselingkuhan mas Barra, sudah tidak bisa di bekap lagi. Berbagai issue yang bagai bola api, mulai dari mas Barra yang tidak mau bertanggung jawab, sampai Callista yang di sinyalir psikopat.

Papi harus melayangkan surat permohonan maaf pada Firma tempat Callista bekerja, dan firma itu pun dengan sepihak memutus hubungan kerja dengan Callista. Dengan ini, maka Callista akan menjadi beban tanggung jawab mas Barra.

Firma tempat Callista bekerja, menyatakan tidak akan ikut bertanggung jawab masalah apapun, perihal percobaan bunuh diri itu.

Aku hanya bisa menatap kosong, ke arah taman. Mendengar rentetan omongan papi.

"saya tidak mau tahu! Kamu bereskan masalah ini! kamu aib buat keluarga!" papi membanting gelas yang ada di genggamannya, lalu melangkah meninggalkan kami semua di meja makan ini.

Mas Barra hanya bisa tertunduk dalam, akhirnya aku memohon pamit pada mami. Jelas tidak mungkin kami berada disini lebih lama lagi, papi akan sangat muak melihat wajah kami.

****

Barra,

Masalah bukannya semakin memudar, malah semakin tidak karuan. Sebuah surat teguran dari firma yang mempekerjakan Callista, baru saja di kirimkan via email, tertuju padaku, dan di cc ke papi dan kedua om ku. didalam surat itu menyatakan bahwa, agar firmaku tidak melibatkan firmanya dalam masalah apapun, dan agar tidak menjatuhkan nama baik mereka sebagai salah satu firma terbaik di Jakarta.

Ardina temanku, bahkan langsung mengirimkan ku pesan whatsapp bertubi – tubi, mengkonfirmasi kejadian dan memakiku.

" Ardina : lo udah gila Barra, gue tau diantara kita semua, lo itu yang paling brilliant, lo itu yang paling potential untuk jadi lawyer muda terbaik. Dan lo sekarang hancurin karir lo dalam sekedipan gini? have you gone insane??"

Satu Bulan Untuk SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang