Barra,
Hancur sudah, Kanaya meminta bercerai dariku. Seumur hidup aku tidak akan rela bercerai darinya. Aku tidak akan sanggup kehilangan dia. Egois, ya aku memang egois. Tapi aku masih ingin memperbaiki semuanya, aku bisa memperbaiki semuanya!!
Aku berteriak, menggebrak meja kerjaku kuat – kuat "dengarkan aku!! Gak ada perceraian!! Gak ada!! Gak ada kata cerai!!".
Mau gila aku rasanya, mendengar kata cerai keluar tanpa ragu – ragu dari bibir Kanaya. Cerai katanya? Tidak akan!! Tidak akan pernah terjadi.
Diluar dugaan, papi ternyata sedari tadi sudah berdiri diambang pintu, menyaksikan pertengkaran kami. Bahkan gema suara kami sudah kemana – mana. Mirna yang berdiri disebelah papi, tampak berdiri gemetaran, memandangku dengan wajah ketakutan.
"kalian berdua, papi tunggu dirumah. Sekarang!!"
Papi lalu membalikan badannya, melangkah menjauh.
Kanaya masih terus menangis, terduduk di kursiku, tubuhnya membungkuk begitu dalam, menenggelamkan wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Aku bertumpu pada kedua lututku dihadapannya.
"sayang... kita pulang dulu ya?" aku berucap lirih dihadapannya, dia bahkan tidak mengangkat kepalanya sama sekali. Masih terus menangis dengan hebat.
Aku berdiri dihadapannya, menjulurkan tanganku agar dia menyambutnya.
"Kanaya.. ayok.. papi sudah tunggu kita dirumah, please" aku kali ini berusaha menggunakan intonasi yang sedikit lebih tegas, berharap dia masih punya sedikit kepatuhan kepadaku.Dia mengangkat kepalanya, menatap ku dengan penuh amarah. Dia menepis keras uluran tanganku, berdiri dan lalu melangkah pergi, bahkan Callista yang berdiri di ambang pintu, terang – terangan dia tabrak bahunya dengan kasar, hingga Callista terpental.
Aku menggerang marah, aku bergegas pergi dari sini. Membanting pintu mobil ku dengan kencang, menginjak pedal gas sedalam mungkin, semisal aku kecelakaan dan matipun, aku tidak perduli lagi.
****
Kanaya,
Apa maksud mas Barra dengan tidak mau bercerai? Setelah semua yang terjadi, dia masih tidak ingin bercerai? Apa yang mau dipertahankan dari rumah tangga ini? apa aku harus bertahan, melihat suamiku bersama selingkuhannya?
Lihatlah wanita itu, dengan beraninya memasuki ruangan suamiku, disaat kami sedang bertengkar seperti tadi, seolah – olah dia sedang menonton pertunjukan. Dia bahkan sudah seberani itu.
Aku menyetir mobilku menuju rumah mami dan papi. Aku bahkan tidak bisa berhenti menangis. Air mataku terus keluar, seolah tidak ada habisnya. Bahkan nafasku mulai terasa sesak.
Akhirnya aku tiba di pelataran rumah mami dan papi, aku melihat mobil mas Barra sudah tiba lebih dulu, padahal aku berangkat lebih cepat darinya. Pasti dia mengebut dengan kecepatan tidak wajar.
Aku masuk kedalam rumah, mereka rupanya sudah berkumpul di ruang tengah. Aku melihat wajah mas Barra yang babak belur. Sepertinya dia sudah lebih dulu di interogasi oleh papi. Segurat rasa tidak tega melihat suamiku babak belur seperti itu, tapi aku berusaha membekukan hatiku.
Mas Barra duduk terpekur di sofa, sesekali mendesis menahan sakit. Aku duduk disebelahnya, dia menoleh ke arahku ketika aku duduk, aku pun melihat ke arahnya. Tangannya terjulur ingin menggenggam tanganku, aku menepisnya.
"mama dan papa mu sudah dalam perjalanan Kanaya, pembicaraan akan kita mulai begitu mereka datang" ucap papi dengan nada yang sangat tegas. Gurat wajah marah dan kecewa bisa ku lihat jelas dari wajahnya. Sementara mami, matanya tampak sembab, seperti habis menangis.
****
Menunggu kedatangan papa dan mama, terasa sangat mengerikan. Bukan aku takut dengan kemarahan mereka, tapi aku lebih takut pada kekecewaan mereka. Aku tidak akan sanggup menatap mereka.
Aku mendengar langkah yang sangat terburu – buru, aku tahu siapa yang datang, bahkan aku tidak sanggup menoleh. Aku tertunduk. Aku mendengar mami menyapa mama ku, lalu aku mendengar mereka saling bertangisan. Aku melirik sekilas, papa yang duduk di salah satu sofa dan menatapku dengan tatapan terluka, kecewa, tidak dapat ku artikan.
Sekarang semua sudah duduk dihadapan kami. Papi tampak mengatur nafasnya agar tidak terbawa emosi.
"ceritakan lagi pada kami semua Barra" perintah papi pada mas Barra.
Mas Barra dengan sesekali mendesis, menceritakan awal mula terjadinya perselingkuhan mereka. Tidak ada yang tidak dia ceritakan, mulai dari awal Callista yang selalu rajin mengambilkannya minuman ketika lembur, menyiapkannya makanan, menenangkannya saat dia emosi. Dan semua penuturannya, yang membuatku semakin terluka.
Dia menginginkan semua itu, tapi bagaimana aku bisa memberikannya, jika dia tidak pernah pulang. Jelas kantor menjadi rumah terindahnya, jika bahkan tidak pernah pulang ke aku? Dia memaksaku menjadi istri yang tidak berguna.
Mami tampak geram, berdiri dan meraih gelas yang ada didepannya, menyiramkan ke wajah mas Barra. Sontak aku terperanjat melihatnya, aku tidak sampai hati melihatnya di siksa secara fisik sampai seperti itu. Reflek aku memeluknya, mengusap air yang ada di wajahnya, membenamkannya kepelukanku.
"kalau kamu butuh perhatian dari istrimu, PULANG!! Pulang kerumahmu, gimana kamu gak nikmatin belaian perempuan lain, kalo kamu pulang aja nggak? Gimana istri kamu mau layanin kamu? kalau kamu pulang aja nggak? Intinya ini semua terjadi karena kamu gak pulang!! Gak ada yang ajarin kamu kerja gak pulang – pulang Barra!! Kamu bisa lihat sendiri papi mu kayak gimana kan?"
Mami melangkah maju, tangannya melayang seperti ini menampar mas Barra.
"mami stop mami... gak hanya mas Barra yang salah, Naya juga salah mami, Naya... Naya... juga berselingkuh mami" ucapku lantang, sambil aku terus memeluk suamiku. Mas Barra meremas kuat bajuku
"jangan sayang.. please jangan bilang apa – apa" bisiknya padaku "mas mohon, biar mas yang salah sayang"
"mama, papa, maafin Naya. Naya kesepian, Naya butuh perhatian, Naya ... menikmati perhatian dari laki – laki lain di kantor. Naya juga salah"
Aku mendengar mama dan papa ber istigfar berkali – kali, bahkan mama semakin menangis histeris. Papa mengusap wajahnya gusar.
"ada apa dengan kalian berdua ini?" papi menatap kami dengan sangat marah "kenapa kalian bisa kayak gini?"
"semua salah Barra pi, kalau Barra lebih memperhatikan Naya, Naya gak akan kesepian. Kalau Barra sedikit ngalah untuk pulang lebih cepat, Barra gak akan kegoda perempuan lain"
Mas Barra melepaskan diri dari pelukanku, berlutut dihadapan papa dan mamaku.
"hukum Barra apa aja pa, ma. Apa aja, asal jangan minta Barra ceraikan Naya, asal jangan ada kata cerai antara Barra sama Naya. Barra gak mau cerai"
Suasana terasa tegang, hanya isakan tangis yang bersahutan yang terdengar.
"Barra, kamu papi non aktifkan dari kantor selama 1 bulan. Selama itu, papi minta antara kamu dan Naya, harus selalu sama – sama, tidak ada kalian punya acara masing – masing. Pergi masing – masing, tidak ada. Kalian harus tinggal satu rumah, tidur satu kamar, pergi kemana – mana bersama – sama. Perintah papi ini tidak bisa di tawar"
Aku menggeleng tidak terima dengan ini, aku tidak ingin seperti ini, aku hanya ingin berpisah dari mas Barra, sudah tidak ada yang bisa di perbaiki lagi. Kami sudah terlalu rusak.
Mama menatapku memohon "Naya.. mama mohon dicoba dulu"
Aku terus menggeleng. Mas Barra meremas tanganku "kami terima keputusan papi" ucapnya.
Aku sontak menatapnya dengan sorot mata sangat marah, dia memanfaatkan keputusan papi untuk menahan ku lebih lama lagi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Bulan Untuk Selamanya
RomanceWarning! Adult content 21+ Ketika sebuah rumah tangga, mulai kehilangan arah pernikahannya, akibat obsesi mengejar karir dan perfeksionitas pekerjaan. Kehilangan kesempatan untuk merekatkan hubungan diantara mereka, dan memberi celah masuk bagi peng...