#1 Kenapa Harus Aku?

1.8K 216 14
                                    

Helaan napas gadis itu terdengar berat. Matanya terus menelisik kata demi kata pada kerta yang ada di tangannya, memastikan jika netranya tak salah membaca.

"Kau membutuhkan uang lagi?"

Tzuyu menerima sebotol air mineral yang diberikan pria yang selama ini sudah menjadi sahabatnya itu. Ia tersenyum lalu menggeleng untuk menjawab pertanyaannya.

"Lalu kenapa memandang kertas itu lagi? aku sudah bilang jika aku akan meminta ayahku untuk--"

"Tidak, aku tak ingin merepotkan."

Chou Tzuyu.

Gadis yang terpaksa harus hidup mandiri setelah Ibunya tiada dan sang Ayah juga pergi meninggalkannya. Tzuyu tak pernah marah pada keadaan yang membuatnya harus kerja sekaligus belajar. Ia hanya lelah karena ia harus merelakan banyak mimpinya untuk mengurus sang adik.

"Aku sudah--"

"Stop it! aku sudah mengatakannya, bukan?" Tzuyu beranjak, meninggalkan pria yang saat ini masih duduk di tangga menuju kampus mereka.

"Ck, dia mulai lagi," gumam Jinhyuk kemudian menyusul langkah Tzuyu.

Mengandalkan orang lain memang bukanlah kepribadian Tzuyu. Ia lebih baik merepotkan dirinya sendiri dibanding orang lain. Bahkan Jinhyuk saja sampai putus asa karena sudah ribuan kali dia mengatakan jika dia akan meminta kedua orang tuanya untuk membiayai dirinya, tapi tetap saja, dia mendapat ribuan penolakan.

"Tzuyu."

"Aku sudah mengatakannya, bukan? aku tak mau jika kau harus repot-repot memikirkanku," ujar Tzuyu, membuat Jinhyuk mengangguk. Ia sudah mengerti perihal pribadi sahabatnya itu. Itulah kenapa ia memilih untuk tak melakukan apapun kecuali memberikan semangat terhadapnya.

Sementara itu, di lain tempat, seorang pria tengah duduk dengan wajah seriusnya. Ia masih serius mendengarkan apa yang sebenarnya dikatakan oleh sang ayah.

"Aku tak bermaksud menyela. Tapi kenapa harus aku?" tanyanya kemudian memasukan makanan ke dalam mulutnya.

"Karena putraku hanya 2 dan kau adalah harapan selanjutnya untuk melanjutkan keturunanku."

Jeon Jungkook.

Pria itu hanya mengangguk setelah rasa nikmat dari potongan daging itu menyentuh indera perasanya. Meski ia tengah bicara serius dengan sang Ayah, ia tetaplah Jungkook yang selalu berusaha mengalihkan pembicaraan, alih-alih menjawabnya.

"Daging di sini memang selalu enak," gumamnya, membuat sang Ayah terdengar menghembuskan napas kasarnya.

"Kau mengalihkan pembicaraan, Jungkook. Itu tidak baik."

Air muka Jungkook sudah jelas memperlihatkan bahwa ia merasa tak senang dengan topik pembicaraan yang dipilih sang Ayah. Sudah hampir puluhan kali ia didesak untuk memberikan keturunkan sedangkan ia masih belum mau menikah apalagi punya anak.

Pada umumnya, pria seusia Jungkook masih senang bermain, mencari pengalaman sebanyak-banyaknya sebelum akhirnya memutuskan untuk melabuhkan hati pada seorang wanita--itupun jika berniat menikah.

Tapi bagi Jeon Jungkook, kehidupannya masih sangat panjang sehingga ia tak mungkin harus mengakhirinya dengan sebuah pernikahan. Memang ia masih bisa mengejar segala hal yang ia cita-citakan. Tapi tetap saja akan sangat berbeda jika ia sudah berkeluarga.

Matanya menatap gelas sloki berisi soju yang ada di hadapannya. Tangannya seketika meraih lalu meneguknya. Menurutnya, lebih baik ia lupa soal pembicaraannya dengan sang ayah dibanding harus merasa terbebani.

"Ayah sudah menemukan calon istri untukmu. Dia baik dan juga cantik. Kau pasti akan menyukainya."

Jungkook terkekeh mendengar pernyataan Ayahnya. Bagaimana bisa sang ayah menyimpulkan demikian saat ia yakin jika sang Ayah juga belum lama mengenal gadis yang akan ia kenalkan.

"Lagipula selama ini kau tak pernah membawa kekasihmu. Lalu kau juga tak menunjukan jika kau tertarik pada seorang wanita. Apa kau tahu? banyak rumor tentangmu tersebar," jelas tuan Jeon sambil kembali memasukan potongan daging itu ke mulutnya. "Kau harus menikah lalu memberikan keluarga Jeon penerus."

"Kenapa tidak Junghyun Hyung saja? dia sudah lebih dulu menikah. Kenapa yang diberi beban hanya aku saja?"

Jungkook sungguh tak mengerti kenapa hanya ia yang disudutkan selaku putra bungsu. Apalagi setelah Kakaknya satu tahun menikah. Lagipula ia tak pernah mendengar desas-desus soal kekurangan Juri, Kakak iparnya. Bahkan wanita itu terlihat sangat sehat dan pastinya bisa mengandung seorang bayi.

"Juri tak akan bisa mengandung, kandungannya lemah," ujar tuan Jeon dengan berat hati. "Setelah ini tak akan ada lagi penerus jika bukan karena kau."

"Ayah, hidupku masih sangat panjang, aku baru 24 tahun dan aku sama sekali tak berpikir untuk menikah dalam waktu dekat."

"Jika ada penerus setidaknya ayah bisa lebih tenang. Kakak dan Kakak iparmu berniat mencari ibu pengganti, tapi sayangnya, Kakakmu tidak punya keberanian untuk melakukannya karena itu masih ilegal," tutur tuan Jeon, membuat aktivitas makan Jungkook terhenti begitu saja. "Itulah kenapa ayah sangat berharap jika kau bisa melakukannya untuk Ayah."

Selama ini anak kesayangan ayah memang tersematkan pada Jungkook. Ia selalu dapat perhatian khusus dari sang ayah dalam masalah apapun. Bahkan sebagian saham perusahaan Jeon's Fondation sudah menjadi atas nama dirinya--meskipun pembagian ini sama rata dengan sang Kakak. Perbedaannya mungkin hanya terletak pada cara Jungkook yang memilih untuk tak mengambil haknya begitu saja sebelum ia dapat bekerja di perusahaan milik Ayahnya.

Jungkook terdiam. Haruskah ia segera menikah? tapi selama ini ia sama sekali jarang dekat dengan seorang wanita. Jangankan untuk dekat, ia terlalu malu hanya untuk berkenalan dengan seorang wanita. Mungkin satu satunya teman wanita untuk dirinya hanya Jihyo. Itupun karena Jihyo yang mengajaknya berteman duluan.

Lalu soal wanita incaran? heol, apalagi hal itu. Jungkook tak memilikinya sama sekali.

Di sisi lain Seoul, di Myeondong tepatnya. Seorang gadis masih berkutat dengan buku-buku tebal miliknya. Menjadi seorang mahasiswi tingkat akhir memang membuatnya harus mau tidak mau menjadi teman dari buku-buku tebal untuk menghadapi ujian-ujian dan juga sidang yang akan dia hadapi.

"Noona, aku lelah melihat Noona." Seungmin, sang adik meletakan segelas kopi di samping Tzuyu. "Ayolah berhenti."

"Tidak bisa, aku harus menyelesaikan pendidikanku secepat mungkin lalu bekerja," ujar Tzuyu, membuat Seungmin memutar malas. "Ini juga demi kau."

Seungmin menutup buku itu lalu menyimpannya. "Selama ini Noona tak pernah jalan-jalan, berlibur, atau bersenang-senang. Setidaknya di tahun terakhir, Noona harus lebih santai."

"Tidak bisa. Meskipun aku punya uang, aku pasti akan bersenang-senang bersamamu. Hanya kau yang aku miliki saat ini."

Semenjak Tzuyu menginjak bangku Sekolah Menengah Atas, ia selalu saja fokus dengan pendidikan dan juga pekerjaan paruh waktunya hingga lupa pada kebahagiaannya sendiri. Bukan tanpa alasan, ia hanya ingin sang adik tetap bahagia meski ia harus merasakan getirnya kehidupan. Ia tak masalah jika harus mengorbankan kebahagiaannya.

Tzuyu tersenyum, mengusap pucuk kepala Seungmin sambil tersenyum. "Jika kau bahagia maka Noona juga akan sangat bahagia. Tak perlu memikirkan itu dan berjanjilah untuk rajin belajar."

Seungmin meletakan tangan di ujung alis kanan, memberikan gestur hormat sebagai kesiapannya memenuhi janjinya pada sang Kakak. "Aku berjanji akan belajar dengan baik."

"Aku akan ingat janji itu." Tzuyu mengakhirinya dengan senyuman. Ia tahu jika Seungmin tak akan mungkin mengecewakannya.

"Noona juga harus berjanji untuk memikirkan kebahagiaan Noona. Aku akan mulai mencari pekerjaan paruh waktu."

"Kau hanya perlu belajar. Jangan pikirkan soal itu, hm?"






TBC🖤

30 Oct 2020

Senin aku mulai tentuin jadwalnya yaa. Ini bonus hari ini❤️

Love You ₩100.000.000✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang