“Tidak terasa sekarang kamu sudah dewasa. Rasanya baru kemarin Kakek menggendong tubuh kecilmu, dan sekarang ... sudah saatnya kamu menikah, Sayang,” ucap Kakek setelah menyeka mulutnya dengan tisu.
Sontak aku tersedak karena ucapan Kakek. Aku paham akan kemana muara dari bicaranya. Pasti dia akan menanyaiku lagi tentang kapan aku akan menikah, atau kenapa aku tidak pernah memikirkan masalah pernikahan. Hampir setiap hari lelaki berusia senja itu menuturkan keinginan untuk melihatku menikah.
Aku sudah bosan mendengar semua itu. Bukannya aku tidak mau menikah, hanya saja sampai detik ini memang tidak memiliki calon. Perkara jodoh siapa yang bisa menebak? Kalau memang belum waktunya, ya mau bagaimana lagi?
“Kek, ayolah jangan bahas ini! Kalau Kakek sangat ingin melihat kami menikah, kenapa tidak Mira saja yang duluan?” tanyaku seraya menengok ke arah Mira—adik perempuanku satu-satunya.
“Kenapa jadi bawa-bawa aku sih?! Aku juga baru lulus SMA, Kak,” ucap Mira setengah berteriak.
“Kakek itu bicara dengan kamu. Jangan mengalihkan ke hal lain!” ujar Kakek memperingatkan.
Aku langsung mendengus kesal. Aku mengambil posisi duduk sebaik mungkin, berusaha untuk tetap santai. Lantas mengambil napas panjang dan mengaturnya agar lebih tenang. Rasanya nasi goreng yang tersaji pada sarapan kali ini terasa sangat hambar karena perdebatan kecil yang kembali terjadi.
Aku menyibukkan diri dengan menyantap makanan yang sedari tadi masih tidak aku sentuh. Sengaja aku hentakkan sendok dan garpu beberapa kali, agar mereka tahu bahwa aku sedang kesal.
“Jadi orang jangan itu jangan gila kerja, sekali-kali carilah waktu untuk have fun dan cari pasangan! Entar kalau jadi perawan tua, gimana?” ucap Mira memecah keheningan yang sempat tercipta.
Sontak mataku membulat sempurna usai mendengarnya, lalu menyipitkannya dan menahan kejengkelan yang memuncak dengan menggenggam sendok dan garpu dengan erat.
Aku tahu, sebenarnya Mira merasa takut karena mendapat tatapan tajam dariku, tetapi perempuan berhijab itu langsung memasang muka dengan sangat santai.
“Benar apa yang dikatakan adikmu itu, Hawa,” Kakek membenarkan kalimat Mira, “Kalau kamu masih tidak bisa mendapatkan calon, sepertinya aku sendiri yang harus turun tangan mencarikanmu jodoh.”
Aku sontak mengalihkan wajah kepada Kakek dan menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Kalau maksud kalimatnya adalah mencarikan calon suami dengan cara perjodohan, maka sungguh Kakek sudah sangat berlebihan. Ini bukan zaman Siti Nurbaya. Aku berhak untuk memilih calon suamiku sendiri.
Kualihkan mata pada makanan yang tersaji di atas piring sambil memainkannya dengan sendok dan garpu.
“Ayo, dimakan! Sayang kalau nasinya cuma dimain-mainkan seperti itu,” suruh Tante Sarah seraya mengelus punggung tanganku dengan lembut.
Tante Sarah sepertinya mengetahui kesedihan dan kejengkelan yang sudah terlanjur menyergap hatiku. Wanita cantik yang selama lima belas tahun sudah merawatku ini memang selalu memahami keadaanku.
Aku memalingkan wajah ke arah Tante Sarah, pada detik berikutnya kuberi cekungan sabit indah di bibir agar wanita paruh baya itu dapat bernapas lega. Mengangguk pelan, lantas bersegera menghabiskan makanan. Tentu saja dengan niat agar segera bisa meninggalkan ruang makan dan beranjak menuju tempat kerja.
🌿🌿🌿
Matahari pada siang ini menampakkan kegagahannya dengan memberi cahaya dengan suasana yang cukup terik. Panas yang dihadirkan sang matahari seirama dengan panas hati dan pikiranku yang sudah berkecamuk sedari pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bismillah Titip Hatiku ✔️ [END]
ChickLitFOLLOW DULU SEBELUM BACA Hawa Rahadatul Aisy begitu hormat dan mencintai Ihsan. Baginya, suami adalah ladang untuk menuju surga, sedangkan bagi Ihsan biduk rumah tangga yang dia bangun adalah neraka dunia. Melihat fakta yang terjadi, Hawa harus tert...