4. Alden & Alaya

27.3K 2.9K 392
                                    

Ternyata Abdad masih tidak menyerah, buktinya pagi-pagi sekali pria paruh paruh baya itu kembali mendatangi kediaman ponakannya seorang diri. Tanpa Nani dan juga Indah.

"Kak,"

"Apa?" jawab Alden sembari bercermin, menata rambutnya yang berantakan.

"Eum... Itu, di luar ada Paman," jawab Alaya terbata-bata. Takut Alden kembali kesal seperti tadi malam.

"Mau apa lagi sih?!" gerutu Alden kesal. Mempercepat sisiran nya.

"Ga boleh gitu ah, inget loh kalo ga ada Paman mungkin Kakak ga bakal ada di tahap ini," jawab Alaya mencoba memberi pengertian. Karena bagaimanapun menurutnya, Abdad sangat berjasa di dalam perjalanan hidup mereka.

"Paling Paman mau bujuk aku lagi, supaya nampung tuh Indehoy!"

"Indah," koreksi Alaya sembari membantu membenarkan kerah baju kemeja Alden yang masih berantakan.

"Ga ngurusin namanya," jawab Alden cuek.

Alaya tertawa pelan, mendorong punggung laki-laki itu keluar kamar dengan paksa, kasian kalau harus melihat Abdad menunggu lebih lama hanya untuk mengobrol dengan Alden yang dalam mode bawel.

"Jangan didorong-dorong dong Yang, mending di elus-elus aja..."

Plakk...

Alden tergelak saat Istrinya itu memukul punggungnya cukup kencang, sudah dipastikan pasti perempuan itu sedang cemberut.

"Udah sana temuin Paman, aku mau buatin minum dulu."

"Iya, iya. Ibu dari anakku..." saut Alden mencubit gemas hidung Alaya dengan senyum jahilnya.

Pipi Alaya merona, mencubit perut Alden hingga pemiliknya memekik sakit. Lalu berjalan ke arah dapur.

"Untung sayang," gerutu Alden mengelus bekas cubitan Istrinya lalu duduk berhadapan dengan Pamannya di sofa ruang tamu.

"Hi Paman..."

Abdad tersenyum, balas melambaikan tangan lalu keduanya bertos ria. Sebelum akhirnya saling melayangkan tatapan datar.

Benar-benar, Paman dan ponakan sama-sama memiliki ego yang tinggi. Yang tua tidak peka kalau ada yang cemburu, dan yang muda tidak mau berkata jujur kalau ia tidak suka di nomer duakan.

"Ngapain pagi-pagi ke sini?"

Seketika wajah Abdad langsung memelas. "Tampung Indah ya, yaaa..."

"Aku bilang ga mau ya, ga mau Paman!"

"Please Alden... Nanti kalo batal bulan madunya, Bibimu bisa marah..."

Bibir Alden bergerak mencibir tanpa suara. "Ya kenapa ga sekalian diajak aja si Indahnya."

Kini giliran Abdad yang mencibir saran gila dari ponakannya. "Ya kali si Indah diajak, bulan madu tuh dua orang. Kalo tiga orang jatuhnya acara keluarga."

Alden mengumpat dalam hati, menggerutu akan sikap Pamannya yang jadi penurut pada Nani. "Kalo gitu kalian ga usah bulan madu, udah pada tua juga!"

"Harus jadi, nanti Bibimu bisa marah," frustasi Abdad. Entah dengan cara apa lagi agar Alden bisa dibujuk.

"Pulangin aja Indah ke kampung halamannya."

"Kampungnya jauh, tadi aja ke kota Paman sama Bibimu yang jemput Indah. Dia ga berani berpergian sendiri."

Sudut bibir Alden berkedut kencang, rasanya ia ingin sekali mengumpat dihadapan Pamannya sekarang juga.

Tangan Alden dilipat di depan dada dengan raut wajah tengilnya. "Masukin Indah ke kardus, bungkus terus ke JNE. Nanti kirim ke kampungnya lagi. Nah, beres tuh. Bayi gede lenyap deh," jawab Alden enteng dengan suara sok imutnya.

Alden & Alaya 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang