Buwana menghembuskan asap rokoknya pelan, menatap jengah pada Alden yang sedari tadi tidak bergerak hingga laki-laki itu sampai jatuh terjengkang bersama kursi cafe yang diduduki.
"Ini mah bener, Ayang gue pasti hamil."
"Woy jawab!" tekan Alden mengebrak meja, hingga Buwana nampak kaget."Mana gue tau, gue kan bukan cenayang bos."
Alden mendelik sebal. "Tinggal bilang iya aja apa susahnya sih?!"
"Iya udah iya, astagfirullah sabar gue, sabar. Kesel banget gue, dari satu jam yang lalu bahasa Alaya hamil apa ga, dari pada penasaran kenapa ga lo ajak Alaya periksa ke Dokter aja sih!" sembur Buwana berapi-api.
"Biasa aja dong, ludah lo muncrat ke gue semua!"
"Ya sorry, habis lo ngeselin banget sih!"
"Gue itu ngangenin, bukan ngeselin!"
"Jijik!"
Mata Alden mendelik, telunjuknya mengarah ke wajah Buwana. "Gue bilangin Mama kalo lo udah ngatain gue jijik, biar lo ga dikasih ijin buat makan masakannya Alaya lagi!"
"Astagfirullah..." gumam Buwana mengelus dada sabar saat melihat Alden marah dengan kedua lengan yang terlipat di depan dada, juga manik mata yang menyorotnya tajam.
Awal pembicaraan mereka memang untuk membahas konsep baru tentang perkembangan cafe, dan juga beberapa tambahan menu makanan agar semakin bervariatif. Namun, Alden melenceng curhat ke arah sikap Alaya yang akhir-akhir ini berbeda.
Jika tadinya penurut, kini sangat keras kepala dan membantah. Yang tadinya tidak gampang menangis juga berubah sampai tersedu-sedu jika keinginannya tidak dituruti. Mungkin masih banyak lagi.
Alden berpendapat kalau Alaya hamil lagi, dan dari tadi Buwana juga mengiyakan tebakan itu. Tapi, Alden begitu antusias sampai membuat Buwana jengah karena harus mengulang-ulang topik yang sama.
Untuk itu Buwana menyarankan agar Alden membawa Alaya ke Dokter kandungan saja untuk diperiksa, atau minimal membeli tes pack untuk memastikan, bukannya menerima saran itu dengan pemikiran positif Alden malah mengiranya enggan mendengar curhatannya.
"Pulang sono!"
"Masih mau ngadem gue Bos," jawab Buwana cengengesan.
Wajah Alden masih terlihat tidak santai. Andai di sini ada Genta, pasti akan lebih menyenangkan bertukar pikiran dengan laki-laki kaku namun mempunyai pemikiran yang dewasa itu. Dari pada Buwana yang sebelas, dua belas dengan Ilham yang memang tidak pernah bisa diajak serius.
Sayangnya setelah menikah dengan Gayatri, Genta memilih berhenti bekerja di cafe yang ia punya dan meneruskan bisnis perhotelan milik keluarganya.
"Buwa nanas."
"Jangan panggil gue itu!"
"Terserah gue dong, mulut punya gue jadi jangan protes!"
"Masalahnya, namanya punya gue!"
"Najis, baperan amat kaya anakan perawan!"
Buwana mendelik, Alden ini kalau berbicara tidak memandang bagaimana dirinya sendiri. Apa Alden tidak sadar kalau dirinya yang sekarang juga gampang tersinggung dan jauh dari kata kalem.
Waktu sekolah dulu Alden memang kalem, kalem dalam artian tidak banyak bicara namun sekali berkata bisa membuat lawannya gondok bukan main. Tapi, setelah menikah dengan Alaya, Alden jadi cerewet, tukang ngadu bahkan cengeng hanya karena Alaya tidak menanggapi ucapannya.
Benar-benar berubah jadi laki-laki bawel dengan sejuta omongan ceplas-ceplosnya yang luar biasa bikin orang berencana menyantet Alden ke dukun yang ada di kampung-kampung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alden & Alaya 2
RomansMasih ingat kah kalian pada kami? Kami harap, kalian ingat. Sudah lewat beberapa tahun sejak kisah pertama di ending kan, kini kami datang kembali untuk membalas ke rinduan kalian. Alden yang kian pintar melempar gombalan dan rayuan recehnya dengan...