Bab 50 : Heaven

332K 18.5K 3K
                                    

"Maaf tapi saya harus melanjutkan." Dokter itu kembali bicara."Kami tak bisa menyelamatkan bayinya. Luka tusuknya mengenai plasenta sehingga menyebabkan gangguan sirkulasi oksigen."

Jemari Noah gemetar dan bibirnya semakin pucat.

"Istri Anda masih berada dalam kondisi kritis saat ini. Dia kekurangan banyak darah dan... jantungnya sulit merespon. Kami akan terus mencoba yang terbaik untuk menyelamatkannya."

Pria itu terlihat seperti orang yang baru saja kehilangan nyawanya sendiri. Dia tertawa dalam tangisannya. Ini bagai mimpi baginya. Ini memang harus menjadi mimpi. Belum dua puluh empat jam mereka menikah tapi Anaya sudah berada di ambang kematian.

"Kami perlu donor darah. Golongan darah Nona Anaya adalah B. Apakah ada yang memiliki golongan darah B dan bersedia mendonor?"

"Golongan darahku B. Silakan ambil sebanyak-banyaknya." Kata Jack.

"Aku juga B." Elijah bangun.

"Baiklah silakan ikut saya."

Jack dan Elijah pun mengikuti dokter itu dengan langkah cepat.

Sementara Noah sudah terduduk di lantai, bersandar di dinding. Tatapannya kosong. Bahkan saat seperti ini dia tak bisa memberikan apa yang dibutuhkan Anaya.

Dan...

Bayi itu... bayi mereka. Sudah tiada.

Noah menutup wajahnya dan menangis sejadi-jadinya. Dulu bukankah dia sangat menginginkan bayi itu digugurkan?

Dan beginikah cara Tuhan mengambil bayi tak berdosa itu? Saat dia sudah mencintainya sepenuh hati? Saat Anaya bahkan sudah memberinya nama? Saat tinggal beberapa minggu lagi bayi itu lahir ke dunia?

Hati Noah saat ini benar-benar sakit sesakit-sakitnya. Tak ada yang lebih sakit dari ini. Bahkan mati pun mungkin tak sesakit ini.

Oh Anaya, dia tak bisa membayangkan andai istrinya itu pun ikut meninggalkannya. Dia tak akan hidup lagi jika itu terjadi.

Dia tak mampu hidup tanpa Anaya.

Dia tak pernah menyangka dirinya akan selemah ini. Dia bahkan tak lagi punya tenaga untuk bernapas, dia yakin tubuhnya sudah tak kuat lagi. Hingga dia tak sadar kalau Jeremy sedari tadi menopangnya.

Pria itu terlihat tak kalah terpukulnya dari Noah. Sementara Candice, sedari tadi menutup wajahnya dan menangis dalam diam. Dia tak ingin menambah kesedihan Noah dengan mendengar tangisannya.


***

Dua minggu sudah berlalu semenjak kejadian itu dan Anaya masih belum sadarkan diri. Kini dia sudah di pindahkan ke ruang ICU.

Noah tak pernah tidur lama semenjak hari itu. Tidurnya hanya bertahan satu sampai dua jam setiap harinya. Dia hanya akan terus duduk di tepi ranjang Anaya sambil menggenggam jemarinya dan memandangi wajah yang masih tertutup oleh alat bantu pernapasan.

"Anna... kapan kau akan bangun? Kau sudah terlalu lama tidur." Noah berbicara pelan sambil terus mengelus jemari istrinya.

Terkadang dia mengusap air mata yang menetes sendiri di wajah cantik itu. Pria itu pun tak pernah absen meneteskan air matanya sendiri.

Hatinya sudah hancur. Sangat hancur dan masih berada pada ketidakpastian. Anaya... apakah dia akan bangun lagi?

"Kau pasti akan bangun bukan? Kau tidak boleh pergi meninggalkanku. Bagaimana aku bisa hidup tanpamu? Aku tidak bisa hidup tanpamu, Anna. Karena itu kau harus segera bangun. Aku rindu berdebat denganmu, Sayang."

BERLINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang