"Aku benar-benar membenci diriku." Hembusan napas kasar Anaya terdengar di ruangan yang penuh lampu kelap kelip dan musik yang menggelegar. Gadis itu terlihat tidak berdaya sama sekali.
Sialan sekali. Mengapa itu terjadi? Mengapa aku harus masuk ke kamar predator seks itu? Itu memang salah dia.
Tapi wanita tidak mau salah.
"Yah wajar saja sih, dia kan pria seksi. Siapa coba yang tidak mengenal Noah Rayan di Berlin?" Adriana Miquell, teman Anaya memberikan komentarnya."Tapi kau yakin hanya sekedar oral?"
Anaya melotot dan memukul lengan temannya."Jangan membicarakannya lagi, aku bisa muntah mendengarnya. Dia menjilatiku dengan liar. Astaga dasar sialan."
Gadis itu kembali mengingat bagaimana sentuhan Noah di kewanitaannya kemarin malam. Membayangkannya membuat dia merasa geli di bawah sana.
Brengsek memang.
"Muntah tapi kau menikmatinya kan?" Adriana menyikut siku Anaya."Kalau tidak harusnya kau menendang wajahnya."
"Dia menaruh mantra, kekuatanku hilang begitu saja." Anaya membenamkan wajahnya di meja sambil mengantuk-antukkan kepalanya.
"Harusnya kau merasa beruntung disentuh oleh Noah, tau!" Adriana memasang wajah jahilnya.
Anaya berdecih dalam hati."Pria itu mafia gila, Adriana. Dia gigolo. Benar kata Eli kalau dia adalah predator seks. Dan bagaimana mungkin aku memberikan kesucianku begitu saja untuknya? Dimana otakku waktu itu? Dasar bedebah, bahkan dia menembak kakiku. Sial!"
"Apa?!! Menembak? Maksudmu?"
"Sungguhan, dia menebak ujung sepatuku karena marah. Kau bisa bayangkan brengsek seperti apa dia itu?"
"Kenapa dia bisa sampai menembakmu, memang kau buat dia marah?"
Anaya mendengus."Aku hanya mencoba melindungi diriku. Dia terlalu berkuasa dan aku tidak ingin diperbudak."
"Jadi?"
Gadis berusia 22 tahun itu memandangi temannya yang sedang menunggu kelanjutan cerita."Aku... balik menantangnya... dengan menodongkan senjata..."
Adriana memutar mata."Kau selalu seperti itu. Tidak perlu sok berani. Jadilah dirimu sendiri. Apakah kau pikir berlagak begitu bisa membuat orang takut?"
Membenarkan apa yang dikatakan oleh temannya, Anaya kembali mengantukkan kepalanya di meja.
"Tapi omong-omong, apakah dia memang sepanas itu? Baru oral saja kau sudah kepikiran."
Anaya mengambil gelas dan meneguk birnya lagi sambil menggigit bibirnya, mengingat kembali betapa panasnya permainan lidah Noah Rayan.
Memang siapa yang bodoh disini? Tentu dirinya sendiri.
Berusaha menghilangkan pikirannya yang berkecamuk, dia berjalan ke lantai untuk berjoget mengikuti irama musik. Bergabung dengan banyak orang yang ada disana.
Anaya terus meliuk di sana, bersentuhan dengan beberapa orang yang juga sedang melenggak lenggok. Membenturkan pinggulnya ke sana kemari, berputar sambil menyapu tangannya di rambut. Sialnya gadis itu yang sebelumnya tidak pernah main di club, akhirnya memilih tempat bahaya itu sebagai pengalihan.
Dia tak sanggup harus berdiam diri dan merutuki dirinya sendiri.
Sementara di sebuah ruangan terpisah, Noah tengah meneguk minuman dari botolnya.
"Noah aku dengar kau punya asisten baru ya?" Candice, istri Jeremy bertanya.
"Sudah tersebar saja berita itu." Noah berdecak pelan, menatap Candice yang sedang mengerutkan dahinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BERLIN
Romance[ 21+ ] CERITA INI MENGANDUNG AKTIVITAS SEKSUAL DAN BAHASA VULGAR. HARAP BIJAK DALAM MEMBACA --------------- 📝 20/09/20