Bab 6 - Dilema

5.6K 571 13
                                    

Adisha terus melamun di tepian tempat tidur, entah mengapa hatinya merasa gelisah dan sangat penasaran terkait map cokelat yang tadi siang Wildan pegang saat di kafe.

Ia mendadak jadi 'seseorang yang sangat ingin tahu' tentang isi dari map cokelat itu. Padahal Adisha bukanlah tipe orang yang penasaran dengan apapun yang orang lain lakukan.

“Pak Wildan Ta'aruf? Tapi kok dia gak mau ngaku ya? Apa jangan-jangan dia malu? Tapi apa yang harus di maluin coba? Kan Ta'aruf bukan perbuatan yang salah, apalagi memalukan.”

Kepala Adisha menggeleng kuat. “Apaan sih? Ngapain mikirin dia mulu dari tadi? Gak penting banget. Mau dia Ta'aruf atau nggak, itu urusan dia. Aku gak boleh penasaran apalagi ikut campur.”

Adisha merutuki dirinya sendiri. Secara tidak langsung, ia telah membuang waktunya untuk memikirkan seseorang yang tidak memiliki peran apapun di dalam kehidupannya.

Pandang matanya menoleh ke arah jam berbentuk lingkaran yang menempel di sisi dinding. Ternyata sudah setengah sepuluh malam. Sangat tidak terasa sekali jika waktu sudah berjalan dua jam lebih sejak ia melamun tidak jelas di tepian kasur. Inilah bahaya dari waktu luang yang terkadang melalaikan manusia.

Perempuan bertubuh mungil itu langsung bangkit dari posisinya dan bergegas menuju dapur untuk mengambil segelas air putih. Kebetulan sekali tenggorokannya terasa kering kerontang, ingin segera di basuh oleh air yang dingin.

Ketika membuka pintu kamar, Adisha langsung di suguhkan oleh pemandangan ruang tamu yang menampilkan sosok ibunya sedang menonton acara televisi.

“Bu, kok belum tidur?”

“Ibu belum ngantuk. Kamu sendiri kenapa belum tidur?”

“Belum ngantuk juga.” Sahutnya di iringi senyuman.

Langkah kaki Adisha membawa tubuhnya menuju dapur. Ia mengambil sebotol air dingin berukuran sedang dari kulkas lalu meneguknya sampai tandas.

“Alhamdulillah.”

Langkah kaki itu kembali melaju. Kali ini bukan kembali ke kamar, melainkan ke ruang tamu. Adisha mengambil posisi duduk di sebelah ibunya.

“Kamu kenapa?”

“Kenapa apanya Bu?”

“Ibu perhatiin dari tadi muka kamu tuh cemberut terus. Lagi banyak tugas kuliah ya?”

Kepala Adisha segera menggeleng. “Nggak kok.”

“Terus kenapa mukanya kusut begitu? Kamu ada masalah lain? Mau cerita sama ibu?”

Tidak ada jawaban segera. Adisha diam diri beberapa saat sebelum bergumam, “Aku cuma sedikit bingung aja Bu.”

Linda segera meraih tangan anaknya dengan lembut.

“Bingung kenapa?” Tanya Linda di iringi senyuman yang sangat meneduhkan.

Melihat senyuman yang terlukis indah seperti itu, membuat pikiran Adisha terbesit akan hal yang tidak seharusnya ia pikirkan. Sorot mata Linda yang sangat tulus membuat Adisha takut kehilangan. Apa jadinya ia bila harus menghabiskan hari-hari tanpa sosok ibu.

“Bu, jaga kesehatan terus ya.”

Kening Linda mengerut heran. “Tumben tiba-tiba begini?”

Tubuh Linda langsung di peluk Adisha dengan sangat erat.

“Panjang umur ya, Bu. Aku sayang banget sama ibu. Makasih udah jadi ibu yang terbaik buat aku. Aku janji, nanti kalau aku udah lulus kuliah dan dapat pekerjaan tetap. Aku bakal beliin apapun yang ibu mau, ajak ibu ke tempat mana pun yang mau ibu kunjungin. Pokoknya semua yang ibu mau bakal aku wujudin.”

Lembar Kisah ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang