Berada di depan pintu ruangan dosen bernama Wildan Septian Haris adalah hal mengerikan yang sebisa mungkin ingin Adisha hindari. Namun sayangnya, ia tidak bisa melarikan diri karena makalahnya harus segera di serahkan kepada Wildan.
Jujur saja, Adisha masih merasa malu dan takut akibat sikap ibunya semalam. Bagaimana kalau Wildan marah karena mengetahui bahwa Adisha telah menceritakan hal-hal buruk tentangnya kepada sang ibu?
“Nggak, nggak!” Adisha menggeleng kuat untuk menghilangkan prasangka buruknya sendiri.
“Masuk gak ya?”
Sudah lima menit Adisha mondar-mandir di depan ruangan Wildan.
“Mau masuk takut. Gak masuk, lebih takut. Takut di kasih nilai E.” ia masih menggeluti kebingungan hatinya.
“Kamu ngapain mondar-mandir di depan ruangan saya?”
“Astagfirullah,” Adisha terkejut bukan main saat suara itu terdengar amat dekat dengan telinganya. “Pak Wildan?”
Benar. Suara yang mengejutkan itu memang bersumber dari Wildan. Ia berdiri menatap Adisha sambil memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Jangan lupakan tentang tatapannya yang mengintimidasi.
“Kalau dari tadi nih orang gak ada di ruangannya, mending aku terobos ruangan dia aja buat taro makalah ini.” Adisha membatin kesal.
Wildan menatap makalah yang sejak tadi berada di tangan Adisha. “Mau ngumpulin makalah?”
“Iya, Pak.”
Tanpa mengucapkan apapun lagi, Wildan berlalu melewati Adisha dan memasuki ruangannya.
“Loh, kok aku di kacangin sih? Dia kira martabak kali.” Gumam Adisha setelah di acuhkan.
“Ngapain kamu masih berdiri di situ?” Tegur Wildan dari dalam ruangannya.
“Kenapa, Pak?”
“Bawa kesini makalahnya!”
Intruksi itu membuat Adisha buru-buru melangkahkan kaki menghampiri Wildan.
“Ini makalah bertema ‘Pernikahan Dalam Sudut Pandang Islam’ setebal dua ratus halaman, Pak.”
Wildan mengambil alih makalah itu dan langsung membacanya dengan sangat fokus. Memperhatikan pahatan wajah laki-laki bergelar dosen itu, membuat degup jantung Adisha bekerja di luar batas normal. Wildan sangat berkharisma. Pantas saja banyak sekali yang mengangguminya.
“Masya Allah.” Bola mata Adisha langsung membulat sempurna. Ia merutuki dirinya sendiri yang sejak tadi sibuk memperhatikan Wildan.
“Kenapa?” Wildan membuka suara tanpa mengalihkan pandangannya dari makalah yang sedang ia baca.
“Hmm ... gak apa-apa kok, Pak. Maaf saya ngelamun.” Alibi Adisha di iringi senyum canggung.
“Ngelamun sambil ngeliatin saya maksudnya?”
“Nggak kok! Sa-saya gak ngeliatin Bapak.” Nafas Adisha berhembus kasar. “Pake ketahuan segala lagi. Malu-maluin aja!” lanjutnya di dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lembar Kisah ✔
Romance[Spin-off : Jazira] "Mencintai sebelah pihak itu sama saja seperti menggenggam pecahan kaca, semakin erat dalam genggaman maka semakin sakit pula rasa yang akan di dapatkan." Kalimat itu mampu mendeskripsikan perasaan Adisha dalam mencintai seorang...