Bab 13 - Sebuah Pilihan

5.1K 508 54
                                    

Setelah bergelut dengan isi hati serta pikirannya yang penuh akan kebimbangan. Akhirnya Wildan mengambil sebuah keputusan besar. Dia akan mengkhitbah Zahra dan tidak mau terlalu lama lagi menggantungkan perasaan perempuan itu tanpa memberinya kepastian yang jelas.

Wildan bukan laki-laki seperti itu. Bukan laki-laki yang hanya memberi janji lalu hilang dan pergi tanpa jejak.

Usai melaksanakan sholat Isya dan membaca beberapa lembar Al-Qur’an. Wildan memutuskan untuk menghubungi kedua orang tuanya di kampung untuk meminta izin. Tapi, keraguan menyergap begitu saja saat ia membaca pesan chat dari Adisha yang belum sempat ia baca.

Anak Alay
Assalamu’alaikum Pak Wildan, makasih banyak ya udah mau jadi wali saya kemarin malam. Maaf ya Pak baru bilang makasih sekarang hehe.

“Wa'alaikumussalam.” Jawabnya tanpa berniat membalas pesan tersebut.

Tubuh yang terasa lelah dan letih langsung di rebahkan pada permukaan kasur yang empuk. Seiring dengan pandangan yang mengawang ke langit-langit kamar, kegelisahan di lubuk hati Wildan masih terasa nyata. Kegelisahan itu bukan tentang ia dan Zahra. Melainkan tentang Adisha dan Gibran.

“Ngapain saya masih sibuk mikirin urusan orang? Astagfirullah hal adzim.”

Gawai yang semula berhenti beroperasi, kini aktif kembali. Wildan mencari nomor adiknya dan mengubungi melalui panggilan telepon. Tidak butuh waktu lama, panggilan itu pun langsung terhubung.

“Hallo Assalamu'alaikum Mas Wil.”

“Wa'alaikumussalam, kamu apa kabar? Mas ganggu gak?”

“Alhamdulillah aku sehat wal’afiat. Gak ganggu kok, memangnya ada apa Mas tumben telepon malam-malam begini?”

“Mas lagi kangen aja sama kamu, Umi, sama Abi di kampung.”

“Kalau kangen sini dong pulang.”

“Iya, Insya Allah kalau ada waktu libur Mas bakalan pulang kampung.”

“Mas Wildan sibuk banget ya di Jakarta?”

“Ya lumayanlah. Oh ya ngomong-ngomong Abi ada gak? Kebetulan ada yang mau Mas bicarakan sama Abi. Kamu bisa tolong kasih ponselnya ke Abi?”

“Oke Mas, bentar ya aku keluar kamar dulu.”

Wildan menunggu adiknya beberapa saat sampai suara berat khas bapak-bapak terdengar di sambungan telepon yang terhubung.

“Halo Wildan Assalamu'alaikum....”

“Wa'alaikumussalam. Abi, gimana kabarnya di kampung? Abi sama Umi sehat kan?”

“Alhamdulillah, kami sehat wal’afiat Wil. Kamu sendiri gimana? Sehat dan nyaman di Jakarta?”

“Alhamdulillah kalau Abi sama Umi sehat, Wildan senang dengarnya. Disini juga Wildan sehat kok Bi, tapi kalau masalah nyaman ya sudah jelas nyamanan di kampung.”

“Sabar ya Wil, Insya Allah apa yang kamu kerjakan sekarang bisa bermanfaat dan menjadi ladang pahala buat kamu. Nikmati saja prosesnya.”

Wildan tersenyum. “Iya Bi, Insya Allah akan Wildan nikmatin dengan sebaik mungkin.”

“Oh ya, ada apa toh telepon jam segini? Kata adikmu tadi ada yang mau di bicarakan ya sama Abi?”

Lembar Kisah ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang