Tidak selamanya, apa yang berawal dengan segala luka akan berakhir serupa. Dengan arti lain, dapat berakhir dengan luka juga. Boleh jadi cobaan yang datang lebih dahulu adalah tameng untuk melindungi diri akan cobaan-cobaan kecil yang datang di masa depan.
Hari-hari yang selalu mencekik leher seakan membuat dunia hancur dalam seketika, kini telah berubah. Semuanya sudah berlalu dan membawa perubahan yang amat sangat berwarna menghiasi hari-hari. Adisha sangat bersyukur karena Wildan tidak main-main dengan ucapannya yang bisa kita semua baca di Bab sebelumnya.
Satu shaf sholat di belakang Wildan, mendapatkan perhatian-perhatian kecil, di lindungi dengan penuh ketulusan. Itulah yang kini mampu melukis warna indah di kehidupan Adisha yang kelabu setelah melewati berbagai cobaan yang menyiksa hati.
Meskipun mereka masih tidur di kamar terpisah dan belum melaksanakan kewajiban sebagai sepasang suami istri seutuhnya. Tapi tidak apa, keduanya masih butuh waktu dan menyesuaikan diri untuk hal itu.
"Sha, kamu udah siap belum?" Teriak Wildan dari lantai satu.
Suaranya yang lantang, di tambah suasana rumah yang sunyi. Membuat suara Wildan menggema ke seisi rumah.
"Adisha, jangan lama-lama. Saya udah setengah jam nunggu kamu siap-siap." Teriaknya lagi.
Di dalam kamar, Adisha terlihat frustasi dari pantulan cermin. Seisi lemari sudah ia obrak-abrik. Tunik, gamis, jilbab, rok dan semua yang berhubungan dengan pakaian, sudah berserakan di atas tempat tidur.
Ia mendesah frustasi. "Kenapa dari tadi susah banget sih nemu baju yang cocok buat aku pake malam ini?"
Tok tok tok!
"Sha, kamu lagi ngapain sih? Jangan bilang kalau kamu ketiduran." Suara Wildan terdengar sangat dekat. Ia sudah berada di depan pintu kamar Adisha.
"Bentar, Pak."
"Cepetan, nanti kemaleman."
Adisha semakin frustasi akibat desakan dari Wildan. Lama-lama ia sudah seperti ibu-ibu. Rewel sekali. Tapi Adisha menyukai itu.
"Pake baju ini aja deh." Akhirnya sebuah gamis berwarna hitam dengan motif bunga menjadi pilihan terakhir. Untuk jilbab, Adisha memilih jilbab hitam karena paling cocok di pasangkan dengan baju apa saja.
Sekitar delapan menit Adisha sudah berganti baju dan memakai jilbab dengan serapi mungkin. Tidak lupa juga ia memoles bibirnya dengan liptint agar tidak terlihat pucat.
Sebelum keluar kamar, ia memastikan lagi penampilannya di depan cermin. "Oke, kayaknya aku gak malu-maluin buat di ajak jalan." Detik setelahnya ia bergegas keluar kamar dan langsung di sambut oleh Wildan.
"Kamu siap-siap atau semedi sih? Lama banget." Sindir Wildan.
"Maklumin kali Pak, namanya juga perempuan."
"Yaudah ayo." Wildan berjalan mendahului dan di iringi oleh langkah Adisha. Mereka beriringan sampai masuk ke dalam mobil.
"Pak Wildan."
"Hm?"
"Kita mau kemana? Tumben keluar malam-malam gini?" Tanya Adisha setelah mobil sudah melaju dan keluar dari area perumahan.
"Cari makan."
"Oh."
Suasana menjadi hening. Sejujurnya Adisha masih canggung untuk memulai percakapan dengan Wildan, begitupun sebaliknya. Mereka masih malu-malu kucing untuk berinteraksi.
"Mau dengerin lagu gak?"
"Gak usah, Pak."
"Oh yaudah kalau gak mau."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lembar Kisah ✔
Romance[Spin-off : Jazira] "Mencintai sebelah pihak itu sama saja seperti menggenggam pecahan kaca, semakin erat dalam genggaman maka semakin sakit pula rasa yang akan di dapatkan." Kalimat itu mampu mendeskripsikan perasaan Adisha dalam mencintai seorang...