"Permisi Pak,"
"Pak,"
"Pak Tama!" Tegur Laura untuk ketiga kalinya yang langsung membuat Tama terkejut bukan main.
"Astagfirullah, maaf saya melamun. Ada apa Laura?"
"Anda ada jadwal meeting setengah jam lagi."
Raut wajah Tama terlihat bingung, "Meeting?" begitu tanyanya kepada Laura.
"Iya Pak, meeting dengan PT. Kencana Abadi yang bulan lalu di pending karena Anda perdin ke Singapore."
"Astaga, iya, saya baru ingat. Tolong kamu atur tempat buat meeting saya sama PT. Kencana Abadi, secepatnya."
"Baik, segera saya laksanakan." Laura langsung pamit dari hadapan Tama setelah menyanggupi perintah yang ia dapat.
Helaan nafas Tama terdengar penuh kegelisahan. Seminggu terakhir ini jam tidurnya berantakan, fokusnya juga memudar, tidak biasanya ia seperti ini. Faktor utama yang membuatnya seperti itu adalah kabar pernikahan Adisha yang seminggu lalu ia dengar dari Laura.
Jangan tanyakan bagaimana perasaan Tama, karena tentu saja perasaannya begitu hancur, patah, dan tidak terkondisikan. Bayangkan saja, setelah bertahun-tahun sulit menemukan perempuan yang dapat menyentuh hatinya yang telah lama tidak terjamah.
Secara tidak terduga semesta mempertemukan ia dengan sosok perempuan yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Perempuan yang mampu menggetarkan hatinya dengan begitu mudah. Perempuan yang jika tersenyum mampu membuatnya juga ikut tersenyum. Perempuan yang membuatnya yakin untuk melangkah lebih jauh ke jenjang pernikahan.
Dan perempuan itu adalah Adisha, perempuan yang telah resmi di persunting oleh laki-laki lain. Lebih tepatnya, laki-laki yang hanya memanfaatkan dirinya.
"Sadar Tam, sadar, dan bangun dari mimpi lo! Dia itu udah punya suami. Gak seharusnya lo begini, gak seharusnya lo galau kayak anak remaja yang baru kenal cinta." Tama mengusap wajahnya dengan begitu frustasi.
Sudah berulang kali ia mencoba mengalihkan pikirannya dari bayang-bayang Adisha. Tapi rasanya begitu sulit. Adisha selalu mempunyai celah untuk kembali ke dalam pikirannya. Dan yang paling utama dari segalanya adalah kekhawatiran Tama terhadap perempuan itu yang sangat mengganggu.
Kekhawatiran tentang kebahagiaannya, kekhawatiran tentang bagaimana Wildan memperlakukannya, dan kekhawatiran tentang hidupnya. Yang seharusnya tidak menjadi urusan Tama karena ia tidak memiliki hak apapun untuk ikut campur.
"Apa kamu bahagia menikah dengan Wildan, Adisha? Apa dia memperlakukan kamu sebagai seorang istri seutuhnya?" Monolog Tama sembari menatap kursi kosong yang sempat di tempati Adisha sewaktu magang.
Tring!
Bunyi pesan masuk mengalihkan pandangan Tama. Setelah membaca pesan yang ternyata berisi alamat tempatnya meeting bersama PT. Kencana Abadi. Ia langsung bersiap dan bergegas pergi setelah menyambar tuksedo miliknya.
***
"Kelas hari ini saya akhiri sampai di sini. Sampai bertemu lain waktu, selamat siang."
Usai pamit, Wildan langsung meninggalkan kelas perbankan syari'ah, fakultas Agama Islam. Langkah Wildan yang berwibawa mampu mengejutkan denyut jantung para mahasiswi yang di lewatinya. Banyak sekali para kaum hawa yang sengaja zina mata hanya untuk menikmati keindahan yang Tuhan ciptakan di pahatan wajah Wildan.
Lalu bagaimana perasaan Wildan? Tentu saja ia risih, sangat risih. Ia tidak suka di perhatikan seperti ini. Ia merasa dirinya bukanlah pajangan atau lukisan yang sudah sepatutnya harus di pandangi oleh banyak orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lembar Kisah ✔
Romance[Spin-off : Jazira] "Mencintai sebelah pihak itu sama saja seperti menggenggam pecahan kaca, semakin erat dalam genggaman maka semakin sakit pula rasa yang akan di dapatkan." Kalimat itu mampu mendeskripsikan perasaan Adisha dalam mencintai seorang...