“Saya terima nikah dan kawinnya, Keisha Asyifa Prasetya binti Danu Prasetya dengan mas kawin tersebut, di bayar tunai.”
“Gimana para saksi, sah?”
“SAH!”
Suasana Masjid Nurul Iman langsung terasa haru ketika Gibran berhasil mendeklarasikan ijab qobul dengan sangat lantang dan begitu yakin. Keisha yang berbalut kebaya putih dan duduk di sebelahnya, menangis haru saat Danu -Papinya- yang sudah lama bercerai dengan Sofia, menjadi wali nikah.
Berbagai doa dan prosedur setelah ijab qobul di laksanakan satu persatu. Setelah bertahun-tahun menjalin hubungan yang baik dan penuh dengan segala cobaan. Akhirnya, hari ini Gibran membuktikan keseriusannya.
Semua yang hadir di akad pernikahan ikut larut dalam suasana bahagia. Terutama Adisha dan Ujang yang sejak tadi sulit mengontrol air matanya masing-masing. Mereka duduk di barisan keluarga mempelai wanita.
“Gak kerasa ya, waktu cepet banget berlalu. Kayaknya baru kemarin gitu gue kenal lo sama Kekei, eh sekarang lo berdua udah merried aja. Terus bentar lagi lo mau launching anak juga. Ya Allah terima kasih atas berkah-Mu ini.”
“Kamu cepetan nyusul juga dong, Jang. Jangan sibuk ngurusin Selena mulu. ”
“Iya besok gue nyusul, kalau gak ketinggalan angkot.”
Adisha menahan tawa mendengar jawaban Ujang. Jangan berpikir kalau mereka duduk bersebelahan, karena pada kenyataannya ada Wildan yang sejak tadi diam di tengah-tengah keduanya.
“Pak Wildan lagi sariawan apa gimana sih? Dari tadi diem aja.” Ujang amat penasaran.
“Tau nih, Pak Wildan kenapa diem aja sih? Saya ngelakuin kesalahan yang bikin Bapak jadi bete ya?”
Wildan menatap Adisha dan Ujang bergantian. “Saya gak apa-apa kok.”
“Terus kenapa diem aja dari tadi? Gak asik banget.” Adisha cemberut kesal. Akhir-akhir ini suasana hatinya memang sering kali memburuk secara mendadak.
Mendapati ekspresi itu membuat Wildan langsung menggenggam tangan Adisha dan mengecupnya dengan lembut. “Saya cuma terharu aja liat Gibran sama Keisha. Kamu gak usah cemberut gitu ya, Sha. Saya gak mau anak kita ikutan cemberut.” Ucap Wildan di lanjutkan dengan mengelus perut Adisha.
Melihat kelakuan dosen dan sahabatnya itu membuat Ujang ikut-ikutan menatap dan mengelus perutnya yang buncit. “Sabar ya sayang, ini cobaan berat buat kamu.”
“Kamu ngomong sama siapa, Albar?”
“Sama tinja yang ada di perut saya, Pak.”
Wildan menepuk pundak Ujang dengan pelan. “Kalau ada masalah cerita aja ke saya. Jangan begini, kasian kamu masih muda.”
“Buset dah! Pak Wildan pikir saya gila?” Tawa Wildan pecah ketika melihat raut wajah Ujang yang begitu menghibur.
Acara terus berjalan dengan lancar. Akad pernikahan Keisha dan Gibran memang tertutup, hanya beberapa keluarga, sanak-saudara, dan teman dekat mereka yang menghadiri.
Di tengah-tengah kerumunan, tiba-tiba saja kepala Adisha terasa pusing dan berputar, ia juga merasa amat mual dan ingin memuntahkan seluruh isi perutnya.
“Kamu kenapa, Sha?”
“Kepala saya tiba-tiba pusing banget, mual juga, kepingin muntah.”
“Astagfirullah, kalau gitu kita keluar aja ya, Sha.” Tubuh Adisha langsung di rangkul oleh Wildan sampai berhasil ke luar dari Masjid.
Adisha teduduk lemah di teras Masjid sambil bersandar ke salah satu tiang. Keringat dingin sudah bercucuran di pelipisnya, bibir merah muda alaminya juga tampak pucat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lembar Kisah ✔
Romansa[Spin-off : Jazira] "Mencintai sebelah pihak itu sama saja seperti menggenggam pecahan kaca, semakin erat dalam genggaman maka semakin sakit pula rasa yang akan di dapatkan." Kalimat itu mampu mendeskripsikan perasaan Adisha dalam mencintai seorang...