Bab 33 - Pertengkaran Lagi

6.1K 589 84
                                    

"Adisha, Umi sama Abi balik ke kampung dulu ya. Kapan-kapan kamu main juga ke sana, biar nanti Umi kenalin ke keluarga besar di Surabaya."

"Iya Umi, Insya Allah kalau ada waktu dan kesempatan. Saya main ke Surabaya." Jawab Adisha sambil tersenyum ramah.

"Kamu ini gaya bicaranya masih formal aja. Mulai sekarang gak usah pake kata 'saya'. Kesannya canggung banget tau." Komentar Jamilah.

"Tau nih Mbak Adisha. Santai aja Mbak, kan sekarang Mbak udah jadi bagian dari keluarga kami." Wirda menimpali.

Adisha hanya tersenyum seadanya, ia masih belum terbiasa dengan keluarga Wildan. Meskipun mereka bersikap sangat baik kepada Adisha.

"Wil, kamu jagain istrimu baik-baik ya. Abi doain semoga keluarga kalian Sakinah, mawaddah, warahmah. Dan semoga cepet di kasih momongan sama Allah."

Ulasan senyum singkat terbit menghiasi wajah Wildan. "Jazakumullahu khairan, Bi. Abi juga jaga kesehatan selalu ya di kampung. Kalau ada apa-apa langsung kabarin Wildan."

"Yaudah, kalau gitu kami pamit dulu ya. Jadwal keberangkatannya sebentar lagi. Adisha, jaga kesehatan selalu ya nak. Jangan lupa main-main ke Surabaya."

"Insya Allah, Abi. Abi juga jaga kesehatan terus ya."

Ammar mengusap pucuk kepala Adisha. Entah mengapa laki-laki yang sudah tidak muda lagi itu, merasa sangat sayang dengan Adisha seperti anak kandungnya sendiri.

"Mbak, nanti kita sering-sering teleponan sama video call ya. Mbak Adisha baik-baik disini. Aku tunggu keponakan yang lucu dari Mbak." Tutur Wirda, bersemangat.

Lagi-lagi Adisha hanya mampu tersenyum seadanya. Besar sekali harapan kebahagiaan yang bisa ia lihat dari sorot mata keluarga Wildan. Andai saja mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi, pasti semuanya tidak akan berharap lebih seperti ini.

"Jadwal keberangkatannya lima menit lagi. Sebaiknya Umi, Abi, sama Wirda cepetan ke ruang keberangkatan." Gumam Wildan.

"Kami pamit ya. Kalian yang rukun dan harmonis selalu. Assalamualaikum." Pamit Ammar mewakili Jamilah dan Wirda.

"Fii amanillah, kalau udah sampai Surabaya kabarin Wildan. Wa'alaikumsalam."

Perlahan punggung mereka terus menjauh dan menghilang di balik pintu. Atmosfer kecanggungan mulai terasa di antara Wildan dan juga Adisha. Suasana bandara yang ramai ternyata tetap terasa sunyi mengisi hati dan pikiran keduanya.

"Kamu kenapa?"

"Saya ada janji sama orang, Pak. Saya duluan." Adisha langsung pergi meninggalkan Wildan yang hanya mematung sambil menatap kepergiannya.

"Adisha."

Panggilan itu mampu menghentikan langkah Adisha. Ia segera menoleh dengan raut wajah yang begitu datar dan sangat contrast sebelum kepergian mertuanya.

"Biar saya antar." Ucap Wildan sambil berjalan mendekat.

"Saya bisa sendiri Pak."

"Saya gak mau kamu pergi sendiri, biar saya antar."

"Gak perlu, saya bisa sendiri."

Laki-laki berkaos hitam polos itu menghela nafas panjang. "Kamu marah sama saya? Sakit hati sama ucapan saya tadi pagi?"

Bibir Adisha melengkung membentuk senyuman yang terlihat tidak tulus. "Atas dasar apa saya harus marah sama Pak Wildan? Kalau urusan sakit hati, dari awal juga kata-kata yang keluar dari mulut Bapak itu selalu bikin sakit hati."

"Saya minta maaf soal itu. Sekarang kamu mau kemana? Biar saya antar."

Kedua mata Adisha menelisik sorot mata Wildan. Setiap celah wajahnya ia perhatikan dengan sebaik mungkin.

Lembar Kisah ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang