Kepanikan menyerang Adisha serta Wildan. Keduanya tidak henti merapalkan do'a, meminta pertolongan Allah atas apa yang sedang dilalui Linda.
Mata Adisha sudah sembab akibat terlalu banyak menangis. Tubuhnya bergetar hebat, lemas serta dingin begitu menguasainya.
Satu jam yang lalu.
Ponsel Adisha berbunyi berulang kali saat ia sedang mengerjakan tugas kuliah. Tertera nama Intan di layar ponselnya, saudara jauhnya yang kini tinggal dengan sang ibu itu menghubungi berulang kali.
"Assalamu'alaikum teteh, ada apa?"
"Wa'alaikumsalam. Adisha, kamu bisa pulang ke rumah sekarang?"
"Loh ada apa teh, kok teteh panik banget?"
"Ibu pingsan, terus mimisan juga. Aku bingung harus ngapain, pokoknya kamu cepetan kesini!"
Setelah mendengar kabar mengejutkan tersebut, Adisha buru-buru mengajak Wildan ke rumahnya. Dan setelah sampai, ia sudah menemukan Linda dalam kondisi yang benar-benar bersimpuh darah di wajahnya akibat mimisan, seperti yang dikatakan Intan melalui telepon tadi.
Secepat mungkin Wildan langsung menggendong tubuh Linda memasuki mobilnya yang ia bawa karena sudah memiliki perasaan tidak enak. Dan detik selanjutnya mereka bergegas menuju rumah sakit terdekat.
"Sha, minum dulu nih." Tegur Wildan secara halus.
Adisha hanya mampu menjawab dengan gelengan kepala saja. Jangankan untuk meneguk air, meneguk liurnya saja ia begitu enggan. Yang ia inginkan hanyalah kabar baik dari dokter yang sejak tadi belum juga keluar dari ruangan ICU.
"Saya tau kamu sedih, tapi tolong jangan begini, nanti kepala kamu bisa pusing kalau kebanyakan nangis." Wildan kembali membuka suara.
"Terus saya harus gimana Pak? Saya harus bahagia di atas penderitaan ibu saya? Itu yang Pak Wildan mau?"
"Astagfirullah, bukan itu maksud saya. Saya cuma gak mau kamu jadi sakit gara-gara kebanyakan nangis. Lagi pula nangis itu gak akan merubah apapun, lebih baik kamu do'ain ibu kamu."
"Tanpa Bapak suruh juga saya bakal do'ain ibu saya." Ketus Adisha. Entah mengapa emosinya benar-benar sulit terkontrol.
Intan yang berada di antara mereka hanya mampu mengelus lembut pundak Adisha untuk menenangkan perempuan itu.
"Keluarga Bu Linda." Panggil seorang suster dari ambang pintu ruang ICU.
"Ada apa sus? Saya anaknya beliau." Adisha langsung bangkit dan menghampiri.
"Oh kebetulan sekali, ibu Mbak ingin bicara. Silakan masuk ke dalam ruangan."
Tanpa menghiraukan keberadaan Wildan dan Intan, Adisha langsung masuk dan menemui ibunya. Ia begitu terkejut melihat Linda yang terbaring lemah di atas brankar dengan selang oksigen yang terpasang di kedua lubang hidungnya.
"Dok, sebenarnya ibu saya kenapa? Tadi sore keadaannya masih baik-baik aja, tapi kenapa bisa drop begini?"
"Berdasarkan hasil pemeriksaan, kanker darah yang di derita pasien sudah sangat parah. Dan dampak dari hal itulah yang membuat pasien seperti ini."
Air mata Adisha semakin mengalir sempurna. Ia merasa sangat durhaka dan begitu bodoh. Disaat keadaan ibunya benar-benar memburuk, ia sama sekali tidak bisa menemani ibunya. Ia membenci dirinya sendiri.
"Saya tinggal dulu ya Mbak, kalau ada apa-apa tekan aja tombol ini." Ucap dokter itu sambil menunjuk sebuah tombol ditembok, kemudian berlalu pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lembar Kisah ✔
Romansa[Spin-off : Jazira] "Mencintai sebelah pihak itu sama saja seperti menggenggam pecahan kaca, semakin erat dalam genggaman maka semakin sakit pula rasa yang akan di dapatkan." Kalimat itu mampu mendeskripsikan perasaan Adisha dalam mencintai seorang...