Seperti yang sudah di katakan pada saat itu, malam minggu ini Gibran akan berkunjung ke rumah Adisha untuk bersilaturahmi dengan ibunya. Sekarang, laki-laki dengan balutan kemeja kotak-kotak tersebut sudah berada di ruang tamu rumah Adisha dan sedang asyik berbincang dengan Linda.
“Udah lama banget loh kamu gak ke sini.”
“Maaf ya Bu, saya baru sempet kesini lagi. Ibu apa kabar? Masih sering kebas gak tangannya?”
“Alhamdulilah kabar ibu baik dan sekarang udah jarang kebas tangannya.”
“Alhamdulillah kalau begitu, Bu.”
“Nak Gibran sendiri gimana kabarnya? Kuliahnya lancar?”
“Alhamdulilah saya sehat wal'afiat, Bu. Kalau urusan kuliah, ya alhamdulillah juga sejauh ini lancar-lancar aja. Meskipun pusing sih udah semester tua begini.” ujar Gibran di iringi kekehan.
Perbincangannya dengan Linda terus berlanjut, mengalir bagai air.
“Oh iya, Adisha kemana ya, Bu? Tumben banget ba'da Isya begini gak ada di rumah?”
“Tadi sih bilangnya mau nganterin Keisha, tapi ibu gak nanya mau kemana. Mungkin sebentar lagi juga pulang.”
Gibran mangut-mangut menanggapi Linda. Tidak lama setelahnya, suara familiar terdengar dari pintu rumah yang terbuka lebar.
“Assalamu'alaikum.”
“Wa'alaikumsalam.” Jawab Linda dan Gibran bersamaan.
“Nah itu Adisha sudah pulang.”
Adisha mematung ketika mendapati kehadiran Gibran yang sedang menatapnya dengan heran. Bukan tanpa sebab Gibran menatapnya begitu. Semuanya pasti karena laki-laki yang sekarang berdiri di belakang Adisha.
“Loh, kok kamu dateng sama nak Wildan, Dish?”
“Tadi gak sengaja ketemu di Mall, Bu. Terus Pak Wildan nawarin tumpangan, jadi aku sama Keisha ikut deh.”
“Oh begitu ... terima kasih ya nak Wildan udah mau nganter Adisha pulang.”
Wildan yang berdiri di ambang pintu tersenyum tulus kepada Linda. “Sama-sama Bu, tadi kebetulan ketemu aja.”
Fokus Adisha beralih kembali kepada Gibran yang hanya diam mendengarkan percakapan Linda dan Wildan.
“Kak Gibran dari tadi? Maaf ya, tadi aku ada urusan bentar sama Keisha.”
Gibran tersenyum. “Belum lama kok, baru lima belas menit.”
“Meskipun baru lima belas menit, tapi aku udah bikin kakak nunggu. Maaf ya, kak.”
“Santai aja kali, Dish. Gak usah di pikirin.”
“Mumpung ada nak Gibran sama nak Wildan. Gimana kalau ngobrol-ngobrolnya sambil makan bolu ketan hitam buatan ibu? Nak Wildan sini masuk dulu, jangan di depan pintu aja. Pamali tau.”
“Makasih atas tawarannya, Bu. Tapi saya mau langsung pulang, gak mau ngerepotin ibu juga.”
“Gak ngerepotin sama sekali kok. Udah nak Wildan gabung sama nak Gibran aja sini, cobain bolu ketan hitam buatan ibu.”
Tidak enak jika harus menolak lagi. Akhirnya Wildan ikut masuk dan duduk bersebelahan dengan Gibran yang saat ini berhadapan dengan Adisha.
“Sebentar ya, ibu ke dapur dulu mau ambil bolu sekalian buatin minuman buat kalian.”
“Biar aku aja, Bu.” Adisha menawarkan diri.
“Kamu di sini aja.”
“Gak mau, Bu. Udah aku aja yang ke dapur, ibu yang disini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Lembar Kisah ✔
Romansa[Spin-off : Jazira] "Mencintai sebelah pihak itu sama saja seperti menggenggam pecahan kaca, semakin erat dalam genggaman maka semakin sakit pula rasa yang akan di dapatkan." Kalimat itu mampu mendeskripsikan perasaan Adisha dalam mencintai seorang...