Masih jam delapan pagi, tapi rasanya sudah ingin pulang saja. Tepat setelah mengetahui kondisi kesehatan ibunya, Adisha jadi enggan untuk berjauhan dengan Linda. Kalau saja tugas magang ini tidak penting, sudah bisa dipastikan kalau saat ini Adisha sedang berada di sisi Linda. Bukan di lantai sepuluh gedung Madya Grup.
"Gimana kondisi kamu? Sudah membaik?"
Jantungnya terasa seperti langsung memompa darah dengan kekuatan ekstra sampai-sampai membuatnya terkejut.
"Pagi Pak," Jawab Adisha tidak nyambung.
"Kalau di lihat-lihat, kayaknya kamu masih belum stabil. Kenapa gak izin buat istirahat aja?"
"Saya udah gapapa kok, Pak."
"Seriously? Tapi muka kamu masih kelihatan pucat."
Adisha hanya mampu tersenyum canggung membalas ucapan Tama. Awkward sekali momentum ini. Benar-benar terasa sangat kaku dan tidak fleksibel. Di tambah lagi dengan sosok Laura yang menghilang dari ruangan ini karena masih cuti pasca menikah. Alhasil Adisha hanya berdua saja dengan Tama.
"Pak Tama," Panggil Adisha ketika Tama sudah duduk di kursinya.
"Ya?"
"Hmm ... Makasih ya Pak buat biaya rumah sakit yang Bapak tanggung. Saya janji, secepatnya akan saya ganti uang Bapak."
Tama mengulum senyum ramah, seperti biasa. Senyum yang selalu tulus dan meneduhkan siapa saja yang melihatnya.
"Gak perlu di ganti, saya ikhlas."
"Saya gak mau berhutang budi, Pak. Jadi secepatnya bakalan saya ganti. Saya janji."
"Dari pada kamu ganti uang saya, mending kamu donasikan aja uang itu ke orang yang jauh lebih membutuhkan."
"Maksudnya?"
"Kamu kasih aja uang ganti itu ke panti asuhan atau ke anak-anak jalanan yang membutuhkan, jangan ke saya."
Lengkungan senyum di wajah Adisha langsung tertarik otomatis mendengar penjelasan Tama. Laki-laki itu memang definisi nyata dari 'suami idaman' selain baik hati, ia juga sangat peduli dengan sesama.
"Kamu gimana sama Wildan?"
"Ya?" Adisha bingung mendengar pertanyaan itu.
"Hubungan kalian masih berlanjut?" Terlihat sekali ada luka yang terukir di sorot mata Tama ketika ia mengutarakan pertanyaan itu.
Sebisa mungkin Adisha memaksakan senyumnya agar tetap melengkung indah. Ia menyadari kalau ada ke-tidak ikhlasan yang bersembunyi di balik pertanyaan Tama.
"Alhamdulillah semuanya berjalan lancar Pak."
"Jadi ... Pernikahan kalian benar-benar akan dilangsungkan minggu depan?"
"Pak Tama tau darimana kalau saya akan melangsungkan pernikah minggu depan?"
Tama menatap Adisha penuh arti. Rasanya sulit sekali harus melepaskan gadis itu, padahal ia belum sempat berada dalam genggaman. Tapi tetap saja rasa sakit itu hadir menghiasi setiap inci hatinya.
"Saya do'akan pernikahan kamu dan Wildan berjalan lancar."
"Terima kasih, Pak." Jawab Adisha dengan rasa sakit hati yang tidak kalah pedih dari yang Tama rasakan.
"Andai aja saya datang jauh lebih dulu dibandingkan Wildan. Pasti yang akan menjabat tangan wali nikah kamu minggu depan itu saya, bukan Wildan." Ungkap Tama secara terang-terangan.
Bagaimana bisa laki-laki itu mengungkapkan isi hatinya secara langsung seperti ini? Apa ia tidak akan berpikir kalau ungkapan tersebut dapat membuat rasa bimbang di hati Adisha semakin tidak terarah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Lembar Kisah ✔
Romansa[Spin-off : Jazira] "Mencintai sebelah pihak itu sama saja seperti menggenggam pecahan kaca, semakin erat dalam genggaman maka semakin sakit pula rasa yang akan di dapatkan." Kalimat itu mampu mendeskripsikan perasaan Adisha dalam mencintai seorang...