Bab 15 - Hilang Harap

5.1K 551 71
                                    

Tidak selamanya segala sesuatu yang di awali oleh ‘katanya’ akan sesuai dengan kenyataan yang ada. Sama seperti yang di rasakan Adisha saat ini. Berbagai tanda tanya dan belenggu yang ia pikul di pundak terasa begitu berat.

Apa yang sebenarnya terjadi dan tidak ia sadari? Apa yang sebenarnya Gibran tutupi? Belum sampai ke pelaminan saja derita yang ia rasakan sudah sangat nyata. Lalu bagaimana kedepannya? Apa akan ada hal mengejutkan lain yang nantinya Adisha terima? Entahlah, semua hanya tinggal menunggu waktu saja.

“Minum dulu, saya gak mau kamu kekurangan cairan gara-gara kebanyakan nangis.”

Adisha meraih air mineral botol itu. “Terima kasih Pak.”

Setelah pergi ke rooftop tadi, Wildan mengajak Adisha ke Masjid untuk melaksanakan rukun islam kedua. Mereka melaksanakan sholat Magrib di Masjid Ar-Rahman yang masih satu kawasan dengan Mall.

Tring..

Tring..

Tring..

Ponsel Wildan berbunyi, ternyata ada panggilan masuk dari kontak bernama Zahra. Keningnya mengerut heran, tidak biasanya Zahra menghubungi secara pribadi seperti ini.

“Halo assalamu'alaikum.”

“Wa'alaikumussalam Mas Wildan, maaf kalau mengganggu waktunya.”

“Ada apa?” Tanya Wildan tanpa basa-basi seperti biasanya.

“Kalau gak sibuk, Ba'da Isya nanti Mas Wildan bisa datang ke rumah saya gak?”

“Kenapa dadakan sekali?”

“Iya Mas maaf. Tapi ada hal penting yang mau Ayah saua bicarakan sama Mas.

“Yaudah kalau begitu, Insya Allah nanti saya akan datang.”

“Baik, di tunggu kehadirannya Mas. Assalamu'alaikum.”

“Wa'alaikumusalam.”

Sambungan telepon terputus setelah jawaban salam menggema.

“Adisha,”

“Iya?”

“Kita pulang sekarang.”

Adisha hanya mengangguk kemudian mengekori Wildan menuju mobilnya. Selama perjalanan tidak ada percakapan sama sekali, mereka sama-sama di sibukan oleh isi pikiran masing-masing. Bahkan sampai tiba di depan gerbang rumah Adisha pun, keduanya masih saling diam.

“Makasih udah mau bantu saya hari ini.”

“Saya yang harusnya berterima kasih Pak. Makasih udah ajak saya cuci mata ke toko perhiasan. Setidaknya beban saya juga terasa lebih ringan berkat Bapak.”

“Hmm, sama-sama.”

“Kalau begitu saya turun dulu Pak. Sekali lagi terim kasih banyak. Saya do'ain semoga lamaran Bapak berjalan lancar tanpa kendala apapun.”

Wildan hanya menganggukkan kepala merespon do'a itu. Detik setelahnya Adisha sudah berlalu turun dari mobil dan memasuki rumah.

Lembar Kisah ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang