Tepat ketika mobil yang Wildan kendarai hampir sampai pada tujuan. Ponselnya berbunyi, ada panggilan masuk dari Wirda. Dengan gerakan cepat Wildan langsung menggeser panel hijau di layar ponselnya.
"Assalamu'alaikum Da, ada apa?"
"Wa'alaikumsalam, Mas Wil dimana? Abi drop dan sekarang dilarikan ke rumah sakit, Mas. Umi suruh Mas buat datang kesini secepatnya." Wirda terdengar sedang menangis dengan suara serak.
"Innalillahi, Mas segera kesana Da. Kamu tenang, jangan nangis. Tolong tenangin Umi juga sampai Mas datang. Kamu shareloc alamatnya ke Mas sekarang ya!"
Sambungan telepon langsung terputus dan tidak lama setelahnya alamat langsung di kirimkan oleh Wirda. Secepat mungkin Wildan langsung memutar kemudi, berbalik arah menuju rumah sakit.
"Loh ini kenapa balik lagi Pak?" Adisha yang masih setia duduk di kursi penumpang merasa heran. Pasalnya ia memutuskan untuk menutup telinga dengan earphones setelah berdebat dengan Wildan tadi, sehingga tidak bisa mendengar percakapan Wildan dan adiknya di telepon.
"Abi saya drop dan sekarang dilarikan ke rumah sakit."
"Astagfirullah Hal’adzim... Kalau gitu biar saya turun disini aja Pak. Setelah itu Bapak bisa langsung ke rumah sakit."
"Kamu ikut saya aja. Saya gak mungkin tinggalin kamu di jalanan sendirian, apalagi udah Magrib begini."
"Saya gapapa kok Pak, lagian di depan kan udah gapura perumahan."
"Bisa nurut sama saya gak? Bahaya kalau kamu jalan kaki sendirian Magrib begini. Saya gak mau terjadi apa-apa sama kamu."
Adisha hanya bisa diam setelahnya. Ucapan Wildan kali ini sepertinya bukan atas dasar sebuah kebohongan, melainkan tulus karena kepeduliannya. Lagipula percuma juga Adisha terus menentang, toh Wildan itu terlalu keras kepala dan sulit mengalah.
Sekitar dua belas menit kemudian mereka sampai di Rumah Sakit Melati. Wildan buru-buru menuju ruang rawat Abinya yang Wirda bilang ada di lantai dua, nomor tujuh belas. Ketika berada di dalam lift, Adisha bisa merasakan kekhawatiran yang luar biasa dari Wildan.
"Ya Allah, semoga Abinya Pak Wildan baik-baik aja."
Melihat raut wajah Wildan membuat secuat rasa ingin menerima perjanjian tadi muncul secara tiba-tiba. Adisha sudah merasakan bagaimana menyiksanya di tinggalkan oleh orang yang paling berarti di dalam hidupnya. Adisha sudah lebih dulu merasakan sakit hati yang abadi akibat kepergian mendiang Ayahnya beberapa tahun silam.
Banyak penyesalan-penyesalan yang sulit Adisha perbaiki setelahnya. Dan kini Wildan seperti orang yang akan mengalami hal tersebut juga. Laki-laki itu memiliki banyak penyesalan di dasar hatinya yang ingin ia perbaiki.
Tepat ketika pintu lift terbuka, Wildan kembali mengambil langkah cepat sampai pada akhirnya tidak jauh dari lift mereka menemukan Wirda dan Jamilah yang terlihat sedang menangis sambil bersandar satu sama lain.
"Assalamu'alaikum," Ucap Wildan.
"Wa'alaikumsalam." Keduanya menjawab salam dengan lirih.
"Mas Wil, Abi..." Wirda menatap Wildan dengan penuh rasa sakit di sorot matanya.
Wildan langsung mengambil posisi duduk di sebalah Jamilah untuk menenangkan wanita itu. "Istigfar Mi, Wildan yakin Abi pasti bakal baik-baik aja."
"Abi kritis, Wil." Lirih Jamilah yang saat itu terlihat menyeka air matanya.
Lutut kaki Wildan langsung terasa lemas seketika itu juga. Ia menunduk dan menangis tanpa suara ketika mendapati kabar buruk tentang kondisi Ammar. Ingin berusaha tegar demi Umi dan adiknya pun terasa begitu sulit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lembar Kisah ✔
Romance[Spin-off : Jazira] "Mencintai sebelah pihak itu sama saja seperti menggenggam pecahan kaca, semakin erat dalam genggaman maka semakin sakit pula rasa yang akan di dapatkan." Kalimat itu mampu mendeskripsikan perasaan Adisha dalam mencintai seorang...