Saat tiba di kampus, suara riuh para mahasiswa yang sedang asik berbincang membuat Wildan merasa terusik. Walaupun awalnya ia tidak peduli sama sekali tapi setelah mendengar nama Adisha di sebut-sebut dalam topik pembicaraan mereka, feelingnya menjadi kurang baik terhadap anak itu.
Wildan terus berjalan tanpa mempedulikan rasa penasarannya. Toh di kampus ini pun nama Adisha bukan hanya satu dan ia meyakini jika yang di bicarakan para mahasiswa saat ini bukanlah Adisha yang ia kenal, melainkan Adisha yang lain.
“Eh, lo tau si Adisha anak Ekonomi gak?”
“Yang cantik itu?”
“Gak cantik kok, biasa aja. Cantikan juga gue.”
“Btw dia kenapa?”
“Itu dia lagi di labrak sama Kak Dini di kantin.”
“Serius? Kak Dini sepupunya Bang Gibran bukan sih?”
“Iya.”
“Emangnya kenapa sih, kok bisa si Adisha di labrak sama Kak Dini? Bukannya tuh anak adem-adem aja ya gak pernah aneh-aneh?”
“Gue juga gak tau pastinya kenapa. Tapi kayaknya ini ada hubungannya sama Bang Gibran deh.”
“Bang Gibran? Emang si Adisha ada hubungan apa sih sama Bang Gibran?”
“Denger-denger sih katanya si Adisha baru banget tunangan sama Bang Gibran.”
Langkah Wildan melambat ketika ia mendengar ada nama Gibran juga di dalam pembicaraan mereka. Sudah bisa di pastikan bahwa Adisha yang mereka maksud memang Adisha yang ia kenal.
Pembicaraan yang terus melebar itu membuat rasa tidak nyaman muncul di hati Wildan. Nama Adisha terus menjadi buah bibir antar mahasiswa, sehingga membuatnya naik darah.
Ia Wildan tidak habis pikir, mengapa semakin ke sini semakin banyak sekali orang-orang yang hobi membicarakan keburukan orang lain tanpa mengintropeksi dirinya sendiri.
Padahal belum tentu apa yang di bicarakan dari mulut ke mulut itu benar adanya. Dan belum tentu juga kalau mereka jauh lebih baik dari orang-orang yang sering mereka bicarakan.
Wildan bergidik jijik. Baginya membicarakan orang lain adalah aktivitas yang tidak penting dan sangat merugikan. Sangat di sayangkan bukan jika kita secara cuma-cuma mentransfer pahala kepada orang lain dan yang dapatkan sebagai gantinya adalah sebuah dosa.
“Nauzubillahminzalik.”
Mendengar semakin banyaknya rumor yang menyebar mengenai Adisha yang sedang di labrak oleh seseorang bernama Dini. Akhirnya Wildan memutuskan ke kantin untuk membeli air mineral sekaligus untuk memastikan keadaan Adisha.
Wildan terkejut ketika tepat pada saat ia sampai di kantin, pandangannya di suguhkan oleh perempuan yang ia yakin bernama Dini sedang menampar pipi Adisha dengan begitu kencang.
Hal itu langsung membawa Wildan berada di puncak emosi. Bukan ia membela Adisha, hanya saja ia tidak suka dengan sikap Dini yang tidak beretika.
“Gak bisa di biarin nih.”
Wildan memutuskan untuk menghentikan kegaduhan itu. Tapi belum sempat melangkah, Dini lebih dahulu pergi meninggalkan Adisha yang terlihat menangis tersedu sambil menenggelamkan kepalanya di lipatan tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lembar Kisah ✔
Romance[Spin-off : Jazira] "Mencintai sebelah pihak itu sama saja seperti menggenggam pecahan kaca, semakin erat dalam genggaman maka semakin sakit pula rasa yang akan di dapatkan." Kalimat itu mampu mendeskripsikan perasaan Adisha dalam mencintai seorang...