Bab 18 - Cappucino Cincau

5K 570 66
                                    

Pada akhirnya titik akhir dalam mencintai seseorang memang harus mengikhlaskan dan juga merelakan. Bagaimanapun ending ceritanya, setiap manusia tetap tidak bisa menyalahkan hati yang bergerak sendiri mengikuti naluri dalam memilih pelabuhannya sendiri.

Manusia juga tidak bisa mengatur takdir apa yang akan terjadi di dalam kehidupnya. Serta tidak bisa mengendalikan perasaan yang bersemayam dan tumbuh di dalam lubuk hati. Pada dasarnya manusia memang hanya bisa berencana, selebihnya Tuhan yang menentukan.

Sama seperti yang di rasakan Adisha saat ini. Munafik kalau ia mengatakan hatinya baik-baik saja walaupun bibirnya berucap tidak apa-apa. Keisha memang sahabatnya, tapi tetap saja perasaan tulus kepada Gibran membuat hatinya hancur juga pada akhirnya. Semua ini terlalu menyakitkan.

Duduk di taman rumah sakit sambil menyaksikan ikan yang berenang bebas di kolam berukuran sedang, membuat Adisha terjebak dalam perseteruan hati dan logikanya sendiri.

"Ternyata selama ini aku jahat banget sama Keisha."

"Aku egois, bisa-bisanya aku bahagia di atas penderitaan orang lain."

"Astagfirullah Adisha ... Kamu kenapa begini sih? Kenapa kamu dengan gampangnya naruh perasaan sama Kak Gibran?"

"Ya Allah, kenapa harus aku sih yang ngalamin semua ini?"

Ia mengusap wajahnya gusar, pikirannya terlalu semrawut sampai-sampai sulit berpikiran jernih bahwa semua ini tidak sepenuhnya kesalahan yang ia lakukan. Adisha lantas terisak sambil terus mencoba memahami dirinya sendiri. Dari radius yang tidak begitu jauh, Wildan ternyata sedang memperhatikannya sejak tadi.

"Kirain kuat beneran, taunya dia nangis juga."

Laki-laki itu berjalan dengan menenteng sesuatu yang ingin diberikan kepada Adisha. Derap langkahnya di iringi senyuman kecil, definisi ‘bahagia di atas penderitaan orang lain’ sangat cocok di sematkan kepada Wildan saat ini. Entah karena apa hatinya terasa lega dan senang setelah hubungan Adisha dan Gibran telah usai.

Wildan mengambil posisi duduk dengan jarak empat jengkal di samping Adisha. Kantong kresek yang ia bawa di letakan di tengah-tengah sebagai pembatas mereka.

"Kalau mau nangis gak usah di tahan-tahan."

Suara yang terdengar secara tiba-tiba itu membuat Adisha langsung mengusap air matanya. Ia mengutuk dirinya sendiri yang telah hilang kendali dalam menahan rasa sakit yang terlalu menyesakan dada. Terlihat menangis di depan Wildan bukanlah hal yang baik.

"Pak Wildan ngapain disini?"

"Saya bawain minuman buat kamu. Di minum dulu biar nangisnya makin lancar!"

Sindiran halus yang Wildan ucapkan membuat gejolak hati Adisha semakin tidak karuan. Laki-laki di sampingnya itu benar-benar menyebalkan. Ia sangat tidak memahami situasi untuk menghadiahi Adisha dengan sikap kejamnya seperti ini.

Melihat raut wajah Alisha membuat Wildan menyadari kesalahannya, tidak seharusnya ia menyindir Adisha saat situasi hatinya tidak baik seperti sekarang. Apalagi gadis itu baru saja mengakhiri hubungan serius dengan orang yang ia sayangi. Pasti menyakitkan sekali, seharusnya Wildan memahami itu.

"Adisha maaf ya, saya cuma bercan-"

"Kenapa harus saya sih Pak? Kenapa harus saya yang ngalamin semua ini?" Tanya Adisha di sela-sela isakan tangisnya yang kembali bersemi.

Pundaknya terlihat bergetar akibat ledakan tangis yang begitu hebat. Ini kali kedua Wildan melihat Adisha yang biasanya selalu ceria begitu lemah seperti bukan dirinya sendiri.

Lembar Kisah ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang