"Pak Wildan, ini udah gak ada yang ketinggalan kan?"
"Nggak, Sha. Buku-buku kuliah kamu juga udah saya masukin ke dalam koper."
"Pak Wildan yakin? Beneran gak ada yang ketinggalan kan?"
"Iya, Adisha. Kalau gak percaya kamu cek lagi aja." Sahut Wildan terdengar kesal.
Adisha berlari kecil dan memeluk tubuh kekar Wildan dari belakang. "Jangan marah dong, Pak. Saya kan cuma nanya, maafin saya ya."
Wildan membalikan badan. Ia menatap Adisha yang memiliki tinggi hanya sebahunya. "Gimana saya bisa marah kalau kamu udah bersikap manis begini, Sha?"
Senyum lebar langsung terlukis di wajah Adisha. "Makasih Pak, saya jadi makin sayang sama Bapak."
"Saya juga." Balas Wildan sambil mengusap pucuk kepala Adisha.
Kini bermanjaan dengan Wildan bukan lagi menjadi hal canggung yang Adisha rasakan. Sejak sepakan lalu, ia lebih fleksibel dalam mengekspresikan rasa sayangnya kepada Wildan. Baik dalam perbuatan maupun perkataan.
Sudah tidak ada jarak lagi di antara keduanya. Semua tebing pembatas yang menghalangi mereka telah hancur. Sekarang mereka sudah benar-benar menjadi pasangan suami istri seutuhnya.
"Udah jam sembilan, Sha. Kamu siap-siap sana. Pesawat kita take-off jam sepuluh lewat lima belas." Mereka mengambil jalur udara untuk ke Surabaya agar lebih cepat sampai dan tidak menguras banyak waktu serta tenaga.
"Yaudah, saya mau mandi dulu."
"Jangan lama-lama ya, nanti selesai mandi langsung turun ke bawah. Kita pamitan sama mbok Ningsih."
"Iya, Pak." Adisha langsung bergegas masuk ke kamar mandi. Sedangkan Wildan langsung turun ke lantai satu sambil membawa satu koper besar yang berisi baju, perlengkapan mandi plus perlengkapan sholat serta buku-buku Adisha.
"Mas Wil, sini biar mbok bantu bawain kopernya." Inisiatif Ningsih saat mendapati majikannya menuruni anak tangga sambil menenteng koper.
"Nggak usah mbok, saya bisa sendiri kok."
"Gak apa-apa Mas, biar mbok aja."
Wildan tersenyum lembut. "Terima kasih mbok, tapi saya gak mau tangan mbok jadi kram. Kopernya berat, jadi biar saya aja."
Ningsih hanya bisa tersenyum. Ia bersyukur memiliki majikan yang super baik dan pengertian dan tidak banyak mau seperti Wildan dan Adisha.
"Mbak Adisha mana Mas?"
"Masih di atas mbok, lagi mandi."
"Mas Wil sama Mbak Adisha di Surabaya mau berapa lama, Mas?"
"Kemungkinan satu minggu, mbok. Do'ain saya sama Adisha ya, semoga perjalanan kami lancar pulang pergi."
"Aamiin ya rabbal 'alamiin ... Kalau soal do'a, tanpa di pinta juga bakal mbok do'ain."
"Terima kasih mbok. Oh ya, mbok mau oleh-oleh apa? Nanti biar saya beliin khusus buat mbok."
"Gak usah repot-repot, Mas. Tapi kalau boleh sih, oleh-olehnya yang ada di perut Mbak Adisha aja."
Alis Wildan saling bertaut, ia tidak paham dengan apa yang di maksud oleh Ningsih. "Maksudnya yang ada di perut Adisha itu apa mbok? Ginjal?"
Ningsih tertawa mendengar pertanyaan Wildan. "Astagfirullah ... Mas Wil ada-ada aja mikirnya, masa ginjal sih Mas? Serem banget."
"Ya abisnya saya gak paham maksud mbok." Ungkap Wildan di iringi tawa kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lembar Kisah ✔
Romance[Spin-off : Jazira] "Mencintai sebelah pihak itu sama saja seperti menggenggam pecahan kaca, semakin erat dalam genggaman maka semakin sakit pula rasa yang akan di dapatkan." Kalimat itu mampu mendeskripsikan perasaan Adisha dalam mencintai seorang...