Bab 50 - Ungkapan Isi Hati

6.3K 554 61
                                    

Sudah empat hari Adisha berada di Surabaya. Kemarin keluarga besar Wildan dari pihak Jamilah dan Ammar datang menghadiri syukuran pernikahan anak pertama mereka yang sudah terlewat beberapa bulan.

Adisha pikir ia akan kesulitan untuk bersosialisasi dan beradaptasi dengan keluarga besar Wildan. Tapi ternyata tidak sama sekali. Mereka semua baik dan menerima Adisha apa adanya, bahkan banyak sekali yang memuji Adisha.

"Gimana? Keluarga saya gak ada yang makan kamu kan?" Tanya Wildan di tengah perjalanannya bersama Adisha menuju Pondok Pesantren Al-Khaf.

"Alhamdulillah gak ada, Pak. Keluarga Bapak baik-baik semua. Apalagi budhe Ami, dia baik banget sama saya. Kemarin sampe ngajarin cara bikin klepon andalannya yang enak banget." Adisha bercerita dengan antusias.

"Pantes aja kemarin budhe Ami suruh saya ajak kamu main ke rumahnya. Ternyata gara-gara si klepon itu."

"Lain kali kita main ke rumah budhe Ami ya, Pak?"

"Boleh."

"Oh ya Pak, saya lupa ngasih tau sesuatu ke Bapak."

Wildan menoleh sekilas untuk melihat wajah Adisha yang membuatnya kecanduan. "Ngasih tau apa?"

"Kemarin waktu saya lagi kumpul sama Budhe Ami, Budhe Sarah, Mbak Gita, sama Mbak Sekar, mereka nanyain saya." Gita dan Sekar adalah kakak sepupu Wildan, anak dari Ami dan Sarah yang usianya sudah hampir kepala tiga.

"Mereka nanyain apa ke kamu?"

"Nanyain soal program hamil. Mereka nanya, katanya saya ikutan program hamil atau nggak?"

"Terus, kamu jawab pertanyaannya?"

Adisha mengangguk. "Iya, saya jawab. Saya bilang nggak ikutan program hamil, karena emang begitu keadaanya."

"Mereka gak nanya yang macem-macem kan?" Wildan mencurigai Budhe dan sepupunya itu. Pasalnya, mereka adalah orang-orang jail yang ada di keluarga Jamilah. Yang terkadang sering menanyakan hal-hal tidak penting.

"Hm, nggak sih, Pak. Cuma ... Mbak Gita nanya, katanya kita udah ada rencana buat punya anak apa belum?"

"Terus kamu jawab apa?"

"Saya bilang “Udah ada rencana kok, Mbak. Saya sama Pak Wildan juga udah bikin anak, tinggal nunggu jadi aja.” saya jawab begitu, Pak."

Bunyi decitan dari ban mobil yang Wildan kendarai langsung terdengar nyaring. Ia langsung refleks menepikan mobilnya di sisi jalan ketika mendengar jawaban Adisha. Untung saja kondisi jalan terpantau tidak ramai.

"Astagfirullah, Pak Wildan kenapa sih? Kebiasaan banget suka ngerem mendadak." Demo Adisha dengan kesal.

"Sha, kamu seriusan jawab begitu?" Wajah Wildan sudah terlihat pucat.

"Iya lah serius, ngapain saya harus bohong? Kan emang kenyataannya kita udah bikin anak waktu Pak Wildan tidur di kamar saya. Terus kit-"

"Adisha!" Wildan langsung membekap mulut Adisha dengan tangannya. Kalau begini kronologinya. Yang salah bukanlah budhe atau sepupu Wildan, tapi Adisha. Dia terlalu polos.

Adisha menyingkirkan tangan Wildan dari wajahnya. "Pak Wildan apa-apaan sih? Tindakan Bapak itu bisa termasuk  kekerasan dalam rumah tangga tau."

"Kamu seriusan jawab begitu, Sha?" Wildan memastikan lagi.

"Ya serius lah, Pak. Kan udah saya bilang kalau kita udah bik-"

"Udah, cukup! Saya gak mau denger kalimat itu lagi. Astagfirullah Hal ’adzim, umur kamu ini berapa sih sebenernya?"

Lembar Kisah ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang