Dua hari pasca lamaran dadakan malam itu. Adisha belum bertemu dengan Wildan lagi. Lebih tepatnya ia menjauhi juga menjaga jarak dengan laki-laki itu.
Di balik segala kebahagiaan yang dirasakan oleh kedua orang tua Wildan serta ibunya. Ada luka yang membekas di dalam hati Adisha. Luka yang hanya ia simpan seorang diri, juga ia tutup serapat mungkin.
Berulang kali perempuan berbalut jilbab dengan warna soft purple itu memijat pelipisnya. Pening di kepalanya semakin terasa dan menjadi.
Memang, sejak malam itu berlalu jam tidurnya jadi terganggu. Suasana hatinya pun ikut memburuk. Hampir setiap malam usai ia resmi menyandang status sebagai tunangan Wildan, ia selalu menangis sebelum tertidur.
Tangisannya di penuhi berjuta rasa takut serta kekhawatiran yang amat besar. Adisha takut untuk menghadapi kehidupannya nanti. Lebih tepatnya setelah resmi menikah dengan Wildan.
"Kalau gak enak badan istirahat aja." Suara berat khas laki-laki itu sontak saja membuat Adisha terkejut.
"Pak Tama?"
"Kamu kenapa Adisha?" Tanya laki-laki itu.
"Gapapa kok Pak. Oh ya Pak, ini ada berkas dari Divisi Perencanaan yang harus Bapak tanda tangani." Adisha menyodorkan berkas yang ia maksud kepada Tama. Tapi bukannya mengambil berkas itu, ia justru menatap Adisha penuh arti.
Tatapan itu tentu saja membuat Adisha tidak nyaman. Apalagi setelah ia kembali mengingat perihal Tama yang mengungkapkan perasaannya sore itu.
"Pak Tama mau saya buatkan kopi? Atau mau teh hangat? Atau butuh sesuatu? Biar saya ambilkan ya Pak," Adisha langsung beranjak dari posisinya untuk meninggalkan Tama. Tapi langkah itu langsung terjeda ketika Tama mulai membuka suara.
"Soal laki-laki yang menjemput kamu hari itu,"
"Ya?" Adisha berpura-pura tidak mendengar.
"Dia calon suami kamu kan?"
Tubuh Adisha langsung beringsut mundur setelah mendengar pertanyaan itu. Bingung sekali, pasalnya Adisha tidak paham mengapa Tama bisa mengetahui semua itu.
"Maaf, mungkin Pak Tama salah paham."
Tama mengulum senyum. "Kamu gak harus berpura-pura gak tau apa-apa, Adisha. Saya sudah tau semuanya. Termasuk tentang siapa laki-laki bernama Wildan itu."
"Pak Tama tau dari mana?"
"Saya menyaksikan proses lamaran kamu di Rumah Sakit Melati malam itu."
Adisha benar-benar langsung tersentak ketika mendengar ucapan Tama. Dari sekian banyak orang, kenapa harus laki-laki itu yang mengetahui semuanya.
"Ma-maaf Pak, sepertinya saya harus..."
"Waktu saya mau jalan pulang, Pak Basuki dapat kabar dari istrinya kalau anaknya di bawa ke Rumah Sakit Melati karena sesak nafas. Dari situ saya langsung ikut beliau dan waktu saya lagi urus administrasi anak beliau, saya liat kamu datang sama laki-laki itu, Wildan."
"Jujur saya khawatir karena liat raut wajah kalian sangat panik. Saya panggil kamu, tapi kamu gak dengar. Dari situ saya berusaha buat gak ganggu kamu, saya langsung pergi ke kantin. Dan setelah saya mau balik ke ruang rawat anaknya Pak Basuki buat pamit pulang. Saya liat kamu sendirian di depan ruang rawat pasien,"
"Saya langsung jalan ke arah kamu, tapi belum sampai situ. Kamu udah lebih dulu masuk ke dalam ruangan itu."
"Jadi Bapak tau semuanya karena menguping pembicaraan saya?" Protes Adisha.
"Saya gak bermaksud buat menguping, sama sekali nggak. Waktu itu saya benar-benar khawatir banget sama kamu, dan sa-"
"Cukup Pak! Tolong jangan ceritain apapun lagi yang Pak Tama dengar malam itu." Adisha memotong ucapan Tama secara tiba-tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lembar Kisah ✔
عاطفية[Spin-off : Jazira] "Mencintai sebelah pihak itu sama saja seperti menggenggam pecahan kaca, semakin erat dalam genggaman maka semakin sakit pula rasa yang akan di dapatkan." Kalimat itu mampu mendeskripsikan perasaan Adisha dalam mencintai seorang...