~27 (Pelukan Hangat Ratu)

1.7K 121 5
                                    

Hallo!
Aku update lagi!

Jangan lupa vote, comment dan share sama temen-temen kalian yaaaaa.

Tinggalkan kritik dan sarannya, terimakasih

Happy reading!❤

🌹🌹🌹🌹🌹🌹

". . ."

"Lagi?"

". . ."

"Bilang sama keluarga mereka gue bakal bayar berapapun untuk jantung itu." Ardi mematikan sambungan teleponnya dan meletakannya di meja kerjanya. Ia menghela napas berat, lalu berjalan menuju jendela ruang kerjanya dan membukanya membiarkan angin malam menerpa wajahnya.

Laki-laki dengan kemeja berwarna maroon dan bagian lengannya digulung sampai siku itu terlihat lelah karena lagi dan lagi keluarga pendonor jantung untuk Ratu tiba-tiba membatalkan izin untuk pihak rumah sakit mengambil jantung dari pendonor. Alhasil, Ratu harus menunggu lagi.

Ardi menghela napas lalu melipat tangannya. Menatap langit malam yang dipenuhi oleh bintang.

Saat Ardi tengah asik dengan pikirannya, pintu ruangan tiba-tiba dibuka dari luar yang membuatnya langsung membalikan badan untuk melihat siapa yang datang.

"Teh hangat sudah datang, silahkan diminum." Ratu membawa nampan yang berisi dua cangkir teh dan satu poci berisi teh juga setoples biskuit.

Ratu meletakan nampannya di atas meja kerja Ardi lalu mengambil satu cangkir teh dan memberikannya kepada Ardi.

"Terimakasih." Ratu tersenyum lalu mengangguk.

"Udah jam delapan lewat loh, Abang enggak makan malam?"

"Mungkin nanti."

"Belum laper atau kerjaannya belum beres?"

"Belum pengen aja." Ratu mengangguk mengerti.

Ratu berjalan melihat-lihat koleksi buku-buku Ardi yang semuanya tentang bisnis. Sungguh membosankan!

"Buku Abang itu enggak seru, enggak ada komiknya." Ardi tersenyum.

"Abang kan bukan kamu yang perpustakaan pribadinya isinya komik semua." Ratu langsung memberikan cengirannya.

Ya, perpustakaan pribadi Ratu yang ada dikamarnya penuh dengan koleksi komiknya. Tidak ada novel apalagi buku yang berbobot seputar ilmu pengetahuan. Karena Ratu cepat bosan jika membaca buku yang tidak ada gambarnya.

"Abang lagi ada masalah?" Ardi meletakan secangkir teh hangatnya di meja. Setelah itu ia berjalan mendekati Ratu.

"Kenapa memangnya?"

"Kayak enggak ada semangat hidup gitu, suram banget deh pokoknya." Ardi tertawa mendengar itu.

Ardi menoel hidung Ratu,
"Ini semangatnya baru dateng jadi enggak suram lagi sekarang."

Ratu tersenyum tipis,
"Kalo ada masalah cerita ya, mungkin Ratu enggak bisa kayak Kak Dean yang bisa kasih solusi ke Abang. Tapi kata Kak Dean, Ratu bisa jadi pendengar yang baik." Ardi tersenyum lalu mengangguk.

"Daripada pendengar yang baik, untuk sekarang yang Abang butuhkan hanya sebuah pelukan." Ratu tersenyum lalu memeluk Ardi dengan erat.

Ardi meletakan dagunya di atas kepala Ratu.
"Abang sayang banget sama kamu, tolong tetap bertahan ya." Ratu mengangguk.

"Ratu akan berusaha untuk kalian. Ratu juga sayang Abang, sayaaang banget." Ratu semakin mengeratkan pelukannya.

"Kalau masalah Abang berhubungan sama Ratu, tolong jangan dipikirin. Karena Ratu di sini, sama Abang dan yang lain. Yang ngatur kematian seseorang itu Allah bukan siapapun termasuk Dokter Alvi."

Ratu melepaskan pelukan mereka dan memberi jarak.
"Abang jaga kesehatan, satu bulan lagi kan nikah jadi enggak boleh sakit. Perawatan juga, nih mukanya kusam. Jelek banget, nanti kalo Kak Reina kepincut cowok lain gimana?"

"Abang serempet cowoknya."

"Serem banget!"

"Ya enggak lah, enggak mau masuk penjara cuma karena perempuan." Ratu mengangguk dan tersenyum jenaka.

"Percaya deh percaya."

Ardi melihat jam tangan hitam ditangannya.
"Kamu enggak belajar? Udah jam setengah sembilan." Ratu menggeleng.

"Enggak ada ujian, belajarnya nunggu ujian aja kalau enggak ya pas ulangan harian."

Ardi mengacak-acak rambut Ratu.
"Dasar."

Ratu memberikan cengirannya,
"Oh iya, lusa Abang jadi nganterin Ratu check-up kan?"

Ardi memasang wajah menyesal.
"Maaf sayang, besok Abang harus ke Singapore dan mungkin akan sampai tiga atau empat hari. Jadi, kamu ditemenin Bunda. Enggak apa-apa kan?" Ratu tersenyum lalu mengangguk.

"Enggak apa-apa, Ratu ngerti kok. Bapak CEO kita ini kan super duper sibuk."

"Triplets masih di sini?"

Ratu menggeleng,
"Udah pulang dari jam setengah tujuh tadi. Mau pamitan sama Abang tapi takut Abang lagi sibuk, jadi ya udah langsung pulang. Ratu ke kamar dulu ya. Jangan lupa makan malam!" Ratu berjinjit untuk mengecup pipi kanan Ardi.

Ardi tersenyum lalu mengangguk.
"Selamat malam Ratunya Abang."
Setelah Ratu menutup pintu, senyum yang sedari tadi bertengger di bibir Ardi langsung hilang seketika.

Ardi mengusap wajahnya, lalu menghela napas. Ia berpikir sejenak lalu setelah itu keluar dari ruang kerjanya.

Ardi berjalan menuju ruang keluarga dengan langkah gontainya. Di sana ia melihat Bundanya sedang duduk di sofa sembari menonton sinetron favoritnya.

"Anak Bunda kenapa? Kok tiba-tiba begini?" Tanya Kania saat Ardi tiba-tiba memeluk kakinya.

Kania mengusap-usap kepala Ardi, anak sulungnya itu tidak akan bertingkah seperti ini jika tidak ada masalah.

"Setau Bunda, perusahaan lagi aman-aman aja deh. Jadi, kira-kira apa yang buat anak Bunda ini jadi seperti ini? Hm?"

"Ardi takut."

Kania mengerutkan keningnya,
"Takut kenapa?"

"Takut kita kehilangan Ratu Bunda, Ardi takut." Ucapnya lirih.

Bahu Ardi bergetar, menandakan jika laki-laki dewasa itu sedang menangis. Kania mengusap-usap kepala Ardi.

Saat sudah sedikit tenang, Ardi mengeluarkan suaranya
"Alvi bilang kalo keluarga pendonor narik izinnya lagi."

Kania menghela napas pelan lalu tersenyum sebelum membawa Ardi untuk duduk disampingnya dan memegang kedua pundaknya.
"Percaya sama Allah, karena rencana Allah pasti yang terbaik." Ardi hanya diam tidak mengangguk pun tidak menggeleng. Ia hanya menatap mata sang Bunda hingga suara Raja menginterupsi keduanya.

"Donor apa?"

***
Tbc

Ratu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang