LIMA PULUH SEMBILAN

557 53 4
                                    

Irene merenung. Memikirkan beberapa kejadian yang menurut janggal. Beberapa hari kebelakang Irene merasa risih setiap berpergian sendiri.

Tak tahu hanya perasaannya saja atau apa,dia merasa diawasi. Tapi setiap dirinya melihat kebelakang mencari kegelisahannya. Dia tak menemukan apa-apa.

Bahkan gerak-gerik,orang yang ada disekitarnya pun tak terlihat mencurigakan.

Irene berhenti sesaat merasa dirinya diawasi. Perlahan Irene berjalan kembali lalu secara mendadak berbalik kebelakang dengan berloncat memutar.

"Akhhh". Teriak Jennie.

Irene jadi merasa bersalah melihat wajah kaget Jennie.

"Gwenchana?". Tanya Irene,dia tau bagaimana Jennie. Seperti dirinya, dia mudah kaget.

Jennie mengangguk,tangannya masih berada didada tepat bagian jantung yang masih terasa berdenyut nyeri.

Jennie menatap Irene tajam. Lalu,melengos meninggalkan Irene yang mematung melihat Jennie melewatinya.

Irene segera mengejar Jennie.

"Hey!". Irene mencekal pergelangan Jennie.

"Kau marah padaku?".

Jennie tak menjawab Irene,kesal rasanya melihat Irene. Jika dipikir-pikir Irene seperti itu sedang apa si?Berbalik dengan cara melompat?

"Ruby,Mianhe". Irene menunduk dihadapan Jennie.

"Sudahlah aku tak apa". Irene tersenyum setelah dirasa Jennie sudah tak kesal.

"Mianhe".

"Heum"

****

"Unnie kalau sudah lulus mau langsung menikah?". Rose tiba-tiba bertanya pada Seulgi dengan Jiso.

"Aniya". Jiso melihat Seulgi yang anteng makan siangnya. Kadang Jiso greget melihat Seulgi seperti itu.

"Wae?". Seulgi mengalihkan atensinya pada Jiso saat merasa tunangannya melihat intens pada dirinya.

Jiso memutar bola mata malas melihat Seulgi. Beberapa hari ini Jiso kesal pada Seulgi. Terlambat menjemput,disuruh membeli ice cream malah beli permen kapas.

"Aniyo,aku menunggu Jiso dulu". Rose mengangguk. Mereka sedang berkumpul kebetulan sekarang jadwal kuliah mereka tak padat. Lisa juga ada disana.

Ting!!

Jennie mengalihkan tatapannya pada handphonenya saat benda itu berbunyi.

Jennie mengernyit saat nomer tak dikenal mengirimnya pesan.

Jika kau tidak sibuk,bisakah kau menemuiku di xxx nanti besok

Jennie tak membalas,membiarkan pesan itu. Sekarang mereka sedang berkumpul Jennie tak ingin fokus terlalu pada benda persegi itu.

Walau mengabaikannya Jennie tetap penasaran siapa yang ingin bertemunya?Jennie tak pernah membagikan sembarangan nomer pribadinya.

"Wae?". Jennie menatap Irene lalu tersenyum dan menggeleng.

Kembali mereka menghabiskan waktu bersama dengan obrolan random.

****

"Hah hahhh". Jennie menarik napas berkali-kali. Menetralkan rasa sakit didadanya yang tiba-tiba menyerangnya saat seperti ini.

"Wae?". Tanya Irene sesaat lalu kembali fokus menyetir. Mereka berniat kekantor Tiffany.

"A-aniyo". Jennie masih berusaha menetralkan napasnya. Jangan sampai membuat Irene curiga.

Jennie melirik Irene yang fokus menyetir. Tangannya sudah membuka tas. Mencari botol kecil.

Sekali lagi Jennie melirik Irene. Jennie takut Irene melihat apa yang dirinya lakukan. Sungguh ini sangat sakit,keringat dingin sudah bermunculan disekitar dahi Jennie.

Tangan yang gemetar itu sudah ada dua butir obat,digenggamnya pil itu.

Sakit didadanya mulai menjadi. Jennie menyeka keringatnya. Lalu bersandar,dan melirik Irene.

Melihat ada kesempatan. Dengan cepat memasukan pil itu kedalam mulutnya. Jennie meraih botol air yang ada disana.

Irene masih fokus kejalan,tadi saat dirinya memasukan pil itu Irene sedang melihat kesamping.

Jennie bersandar,memejamkan matanya. Membiarkan napasnya teratur.

Irene yang melihat Jennie sedang menutup mata itu dibuat senyum. Namun,matanya melihat keringat yang masih melekat pada dahi Jennie.

"J?".

"Heum".

"Gwenchana?". Jennie mengangguk membalas ucapan Irene.

Tak ingin membuang banyak tenaga,Jennie meminta izin pada Irene untuk tidur sebentar.

JenReneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang