"Cinta ini salah," suaranya bergetar, hampir tenggelam dalam gemuruh ombak kecil. Namun, cinta di matanya tak bisa dipadamkan. "Tapi aku tak bisa berhenti mencintaimu," jawab yang lain, dengan desahan putus asa, seperti seseorang yang sudah lama terjebak dalam dilema yang tak berujung. Mereka saling menatap, kedua hati yang dulu begitu yakin kini dipenuhi ketidakpastian. Rahasia yang mereka temukan terlalu berat untuk diterima. Setiap kenangan yang mereka ciptakan bersama kini terasa terkotori oleh satu kebenaran yang tak terhindarkan, mereka terhubung bukan hanya oleh cinta, tetapi juga oleh darah yang sama. Ibu yang selama ini mereka kira jauh dari kehidupan masing-masing, ternyata adalah satu orang yang sama. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" bisik salah satu dari mereka, suaranya pecah, penuh dengan ketakutan yang tak bisa disembunyikan. Yang lain terdiam, menunduk, terlalu sakit untuk menjawab. Semua rencana, semua harapan, kini terasa sia-sia. Tak ada jalan keluar dari kenyataan ini. Cinta mereka, yang dulunya penuh harapan, kini berubah menjadi beban yang tak terelakkan. Namun, meski kenyataan itu begitu pahit, perasaan di antara mereka tetap ada, mendesak untuk diakui. Bagaimana mereka bisa terus mencintai ketika darah yang sama mengalir di nadi mereka? Malam itu adalah awal dari perpisahan yang tak terelakkan. Takdir telah memisahkan mereka sebelum mereka sempat benar-benar bersama. Dalam keheningan malam, cinta mereka terbungkus oleh bayangan kelam, menyisakan hanya jejak air mata dan hati yang hancur.