14. Bosan sekolah.

66 15 0
                                    

Dengan penuh penghayatan, emosi, dan berapi-api

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dengan penuh penghayatan, emosi, dan berapi-api. Pria setengah abad itu berpidato didepan 2678 murid. Sudah lebih sepuluh menit ia belum juga menuntaskan amanat pagi seninnya. Danis Abimana nama lengkapnya, tidak sadarkah bapak mimik muka murid-muridmu ini sudah kepayahan. Ayolah, pagi hari ini matahari bersinar dengan terik, peluh sebesar biji jagung sudah meleleh sedari tadi dileher kami. Ditambah dengan pakaian sekolah super ribet ini. Semakin membuatku segera hengkang dari tempat ini.

Oke, mari aku sebutkan satu persatu. Kameja putih polos, masih normal, celana motif kotak-kotak dengan perpaduan warna biru, abu-abu dan hitam, ehm ... makin aneh. Lalu dasi dengan corak senada dengan celana dan terakhir adalah blezer warna biru laut yang membungkus kemeja putih tadi dan hanya meninggalkan dua kancing teratas yang tidak dikancing dengan alasan agar dasi di dalam terlihat serta pada dada kanan terbordir rapi lambang sekolah tercinta. Oh iya jangan lupa sepatu pentofel dan kaos kaki hitam.

Untuk siswi tidak jauh beda hanya saja mereka memakai pita biru yang dipakai seperti dasi dan rok sebatas dengkul.

Seragam yang aneh untuk ukuran sekolah tingkat menengah pertama. Iya, kalian tidak salah baca, aku masih anak SMP dan selama aku hidup hanya sekolah ini yang gaya berpakaiannya nyeleneh. Mungkin faktor sekolah swasta, akh ... tetap saja ribet. Lebih mudah hanya kemeja putih dan bawahan biru seperti sekolah normal, iyakan?

Aku kembali menyeka keringat, sedikit merunduk untuk melirik jam dipergelangan, dasar! Pak Danis telah berpidato lima belas menit. Akh ... beginilah jika giliran kepala sekolah yang bertugas sebagai pembina upacara.

"Kita sambut Dimas, dari kelas VIII-B!" Suara riuh-rendah menggema seantero lapangan. Eh lho, kok tiba-tiba pak Danis memanggilku? Di belakang, seorang teman mendorong-dorong punggung agar keluar barisan. Serius, ini ada apa?! Ketahuan deh dari tadi tidak memerhatikan amanatnya.

Oke, aku kelabakan saat mendapati diri telah menjadi pusat perhatian. Di sana pak Danis semakin mengembangkan senyumnya. Tarik napas, dengan kedua tangan di masukkan kedalam saku celana aku mulai melangkah maju. Berusaha jaim.

Untung saja bukan hanya aku yang dipanggil ke depan tetapi ada beberapa siswa lainnya dari berbagai kelas, sekarang kami berdiri saling sejajar dengan menghadap teman-teman lainnya.

Tunggu! Eh, muka-muka ini tidak asing deh. Inikan siswa dan siswi yang biasa ikut ....

"Selanjutnya Calvino Adithama dari kelas VIII-C."

Tuhkan benar.

Aku menarik napas berat. Vino telah berdiri disampingku, sesaat tersenyum simpul lantas perhatiannya kepada teman-teman dilapangan.

"Mereka akan mewakili sekolah diolimpiade yang diadakan tiga bulan lagi, beri tepuk tangan yang meriah!"

Oh tidak! Olimpiade lagi, kemarin disuruh ikut cerdas cermat, bulan lalu KIR. Pak Danis apa ngga ada murid selain aku? Kenapa setiap ada even yang menggunakan otak, pasti aku selalu terlibat.

Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang