2. Ibuku sayang, Ibuku malang.

378 63 122
                                    

Tidak peduli dengan kakiku yang membiru di sana-sini dengan terpaksa aku harus menyeret keduanya. Menapak tanpa alas kaki di jalanan becek sehabis hujan. Air mata sudah tidak terhitung jumlahnya, mereka terus saja memaksa keluar padahal otakku tidak menginginkannya. Huh, mengapa kali ini malah hati yang harus menang. Aku tidak suka itu!

Sakit ... sakit sekali tubuhku, rasa pegal menjalar disetiap jengkal badan kurus kering ini. Huh ... hawa dingin sehabis hujan menusuk sampai ketulang. Respek aku memeluk tubuh sendiri, baju kaos yang kotor dan basah karena peluh serta celana pendek selutut yang sangat usang tidak bisa melindungi dari hawa palingku benci ini.

Matahari telah bersembunyi diperaduannnya. Malam ini tidak ada bulan menggantung dan bintang berkelap-kelip. Sepertinya awan mendung masih ingin menguras isinya.

Aku pulang terlambat.

Aku harus cepat sampai kerumah, Ibu pasti telah menunggu. Ada geleyar resah menggantung dihati, wanita yang menjadi cinta pertamaku itu sedang terbaring sakit dirumah. Awalnya dia enggan melepasku pergi kepasar untuk bekerja sebagai kuli angkut, namun jika tetap berada di sisinya. Siapa yang akan mencari uang untuk membeli obat dan sebungkus nasi sekedar mengisi perut?

Aku mempercepat langkah mungil ini. Rasa sakit ini tidak lebih penting dari rasa gundah mengingat keadaan Ibu. Digenggaman sudah ada kantong kresek berisi obat penurun panas dan sebungkus nasi beserta lauknya yang aku beli di warteg depan.

Untung saja uangku tidak diambil semua oleh remaja-remaja brandalan di pasar tadi. Biarku beri tahu, mereka suka sekali memalak anak yang bekerja sebagai kuli angkut. Jika tidak dikasih siap-siap saja menerima pukulan dan tendangan dari mereka. Seperti yang terjadi kepadaku sekarang. Seluruh luka dan lebam yang masih segar ini karena ulah mereka.

Akhirnya setelah melewati jalanan gang sempit. Aku telah sampai di depan rumah kontrakan milik Bu Asih. Rumah yang bisa dibilang paling kumuh diantara deretan kontrakan lainnya, terpojok dekat pembuangan sampah. Pelatarannya terlihat sangat kotor dan berdebu. Daun rambutan berserakan di halaman. Bertanda Ibu belum bisa bangun dari tempat tidur, biasanya beliau tidak suka melihat pemandangan seperti ini, setiap ada yang kotor Ibu selalu membersihkannya.

Tiba-tiba aku mendengar suara gaduh dari dalam. Suara benda terbanting menggema di telinga seketika tubuhku gemeteran, aku meneguk liur susah payah.

Setelah beberapa saat berdiam diambang pintu aku memberanikan diri untuk membukanya. Hal pertama yang kudapati adalah ruang tamu ini benar-benar seperti kapal pecah. Namun perhatianku langsung berpindah ke kamar Ibu, sumber gegaduhan ini. Kamar yang tidak berdaun pintu, hanya sebuah tirai bercorak bunga, kata Ibu itu gambar bunga Mawar tapi bagiku itu tidak lebih dari bunga Bangkai. Warnanya telah pudar, ada beberapa lubang dipermukaannya dan rumbai-rumbai bagian bawah telah sebagian terlepas, lusuh termakan usia. Satu kalimat yang menggambarkan tirai itu.

Dari balik tirai aku melihat siluet laki-laki dewasa. Meski tidak jelas aku tahu jelas dia sedang menyiksa Ibu.

"Jangan ambil semua tabunganku...."

"Heh, gue ngga mau tau! Pokoknya lo harus kasih gue duit!"

"Mas boleh ambil sebagian ... tapi sisakan untuk bayar kontrakan ...."

"Gue ngga peduli!"

"Akh ...."

"L-lepas Mas, badan aku sa ... sakit ... Mas, Hari ini aja ak ...aku ngga kerja .... "

"Alah! alesan aja lo! Bilang aja males. Heh, apa gunanya gue dulu nikahin elo? Kerjanya cuman buat gue susah!"

Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi di dalam. Namun satu yang pasti Bapak menyiksa Ibu!

Dimas: From Zero To Villain.[Selesai, Belum Revisi.] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang